
Hari ini saya bertemu dengan teman lama. Sebut saja namanya Cato.
Saya mengenal Cato saat usia kami sama-sama remaja. Dia dulu saya kenal sebagai anak cowok yang pendiam dan pemalu. Tampangnya tidak jelek, tapi karena dia pendiam dan pemalu, ia dulu kurang dipandang oleh cewek-cewek di lingkungan kami.
Waktu berlalu, tahun berganti. Saya lihat dari postingan media sosial Cato dia kini sudah sukses. Dia kaya raya. Punya perusahaan sendiri. Mobil mewahnya ada lebih dari satu. Punya motor Ducati. Tergabung di sebuah klub mobil mewah. Penampilannya kini perlente. Handphonenya yang tercanggih masa kini. Jam tangannya seharga ratusan juta. Sepatunya kulit asli yang branded. Begitu juga sabuk pinggangnya.
Saya kagum dan ikut senang dengan keberhasilan Cato. FYI, saya tidak pernah iri dengan kesuksesan orang-orang pekerja keras semacam Cato. Justru saya ikut bangga akan keberhasilannya. Kayak seneng aja gitu bisa ngomong ke orang “Eh dia itu temen gw, lho”. (Padahal kontribusi gw apeeeee di hidup dia? Hahahahaha)
Singkat cerita, saya ada urusan yang berhubungan dengan bisnis milik Cato. Maka saya undang dia untuk meeting sekaligus kenalan dengan rekan kerja saya. Setelah sekian lama nggak ngobrol dengan Cato, saya jadi makin kagum dengan dia.
Soalnya di balik penampilannya yang kini perlente, ternyata Cato masih ringan tangan untuk membantu, nggak pelit berbagi ilmunya, dan tetap tidak berubah sikapnya terhadap teman lama. Ya…kan ada ya orang yang begitu terkenal atau tajir dikit, langsung shombong atau jaga jarak aja gitu. Pengennya dianggap ‘bos’ di kalangan teman-teman lamanya. Sedangkan Cato, justru titelnya sebagai ‘CEO’ dia gunakan secara maksimal untuk membantu teman.
Wah, tambah salut saya sama nih orang. Udah tajir melintir, nggak sombong pula. “Dia pasti hidupnya bahagia. Gimana ya caranya bisa setajir dia?” batin saya.
Beneran bahagia? SALAH BESAR, SODARA-SODARI!
Seusai obrolan bisnis panjang lebar, kami mulai menceritakan hal-hal yang lain. Entah bagaimana, akhirnya sampailah kami membicarakan kesulitan dari pekerjaan masing-masing. Cato lalu mengungkapkan kalau pekerjaannya ini membuat ia sering dikirimin santet.
“Serius lo, To?” tanya saya terkejut.
“Iyah!” jawabnya.
“Yang lo rasain apa emang?”
“Gw jadi orang yang blank aja gitu. Gw jadi nggak bisa kerja. Gw jadi kayak nggak paham apapun.”
Cato kemudian menjelaskan duduk awalnya ia disantet. Intinya ia ditipu oleh kenalan lamanya. Kenalan lamanya ini ingin membawa kabur uangnya. Namun sebelum ia bawa kabur, ia kirim santet dulu ke Cato agar ia nggak bisa mikir.
“Pas sadar duit gw dibawa kabur ama dia, gw tuh tetap ngerasanya ‘ya udah deh gak papa’. Gw sadar duit gw dibawa kabur ama dia, tapi gw kayak nggak mau nindak ini orang. Akhirnya ada temen gw yang bisa ‘ngelihat’ bilang kalau gw ini emang ‘dikirim sesuatu’ sama pelaku. Terus si temen gw yang bisa ‘ngelihat’ ini kirimin gw penangkalnya. Kayaknya dikirimin tengah malam tuh ama dia. Soalnya tahu-tahu gw kebangun jam 2 pagi, terus langsung kayak kebuka aja gitu mata gw. Gw kayak baru bener-bener sadar kalau duit gw dibawa kabur. Tengah malam itu juga gw baru marah dan ngamuk.”
Saya hanya bisa terdiam tidak habis percaya. “Kerjaan lo pasti susah banget ya, To”.
“Iya dis. Kerjaan kayak gw ini banyak yang nggak suka. Ada aja yang iri. Atau kalau ada yang kalah tender ama gw, dia kesel jadi ngirim yang aneh-aneh. Ada aja deh. Kata temen gw yang bisa ‘ngeliat’ itu, muka gw ini di mata dia udah banyak bekas cakarannya. Udah banyak yang berusaha ngirim ke gw”.
Saya jadi agak sedih dengar ceritanya. Soalnya pekerjaan Cato ini halal, tapi udah kerja halal pun masih ada aja orang yang nggak suka sampe segitunya.
Keinginan saya untuk menjadi horangkayah seperti Cato seketika sirna.
Saya masih hidup di rumah ngontrak. Masih belum punya mobil apalagi rumah hasil jerih payah sendiri. Kemana-mana motoran sama Si Punk Rock dan Kriby. Tapi saya punya kemewahan yang tidak dimiliki semua orang, yaitu ketenangan hidup.
Alhamdulillah hidup saya tenang karena punya suami yang baik banget dan anak yang cantik dan menggemaskan.
Alhamdulillah kami sehat-sehat semua dan semoga akan sehat-sehat terus selamanya. AMIEN.
Alhamdulillah duit di rekening bank selalu ada, meski suka tiris dipertengahan bulan.
Alhamdulillah punya suami yang suka ngajak ketawa bareng ketika saldo rekening tinggal sekali narik lagi.
Alhamdulillah ternyata hidup saya udah cukup dengan segini doang. (Terima kasih ya Allah karena telah memberikan hamba rezeki yang bentuknya tidak melulu uang ataupun materi.)
Saya tetap salut dengan kerja keras Cato. Saya tetap kagum dengan pencapaian Cato. Tapi dari kemewahan yang ia miliki, ada stres yang mengikuti. Saya nggak yakin saya bisa mengatur stres jika saya berada di posisi Cato.
Di era media sosial seperti saat ini, kita memang akan mudah sekali termakan ‘rayuan’ kemewahan. Seolah-olah kemewahan dan kekayaan adalah tujuan hidup. Namun kalau berkaca dari cerita Cato, ternyata kemewahan yang ia dapat secara nyata dan halal aja, nggak jadi jaminan kebahagiaan.
Berkat ‘cerita seram’ Cato saya jadi sadar harus men-setting ulang tolok ukur kesuksesan hidup seseorang.
Sekian cerita saya kali ini. Semoga bermanfaat.
NB: FYI, ini kelanjutan kisah uang Cato yang dibawa kabur itu.
Jadi Cato nggak mau lapor ke pihak berwajib karena menurutnya hanya akan menghabiskan uang. Maka yang ia lakukan adalah menyebarkan perbuatan si pelaku ke seluruh orang yang berhubungan dengan si pelaku. Akhirnya si pelaku malu sendiri karena ruang geraknya kini terbatas akibat cibiran masyarakat. Si pelaku pun pindah ke Bandung untuk menghindari malu.
Tapi ada kisah bahagianya juga, lho. Kata Cato, uangnya yang dibawa kabur tidak lama kembali lagi dari rezeki yang datang entah dari mana aja. Kata Cato, ia memberikan sisa uang yang ia punya untuk membelikan hadiah mobil baru ke orang tuanya. Berkat doa orang tuanya, uang Cato yang hilang kembali lagi tanpa makan waktu lama.
Jadi tips jadi horangkayah ala Cato adalah: terus bahagiakan orang tua, terus menolong sesama. Insya Allah rezekinya mengalir nggak putus.