(Repost dari blog yang lama: 25 Mei 2009)
-Gw akan sangat berterima kasih sekali kalau para musisi, pengamat musik, dan pecinta musik Indonesia meluangkan sedikit waktunya untuk membaca dan memberi komentarnya untuk postingan gw yang satu ini.-
Beberapa hari yang lalu gw wawancarain sebuah band yang ‘gitu deh…..’ Maksud ‘gitu deh…’ di sini adalah jujur gw sendiri meragukan sisi musikalitas mereka. Tapi dari hasil bincang-bincang sekaligus wawancara mereka, gw jadi menyadari suatu hal. Nama bandnya gw rahasiakan ya, tapi FYI mereka itu cukup terkenal. Karena singel pertama di album pertama mereka ngejedar banget! Saking terkenalnya, bahkan lirik lagu mereka hampir menjadi jargon pada saat itu.
Berikut penggalan perbincangan tersebut. Diawali dengan pertanyaan mereka yang penasaran dengan pandangan gw….
Band (B): Gw pengin nanya nih, tadi lo dengerin lagu kita berapa kali?
Gw (G): Sekali.
B: Dan menurut lo gimana lagu itu dengan sekali dengerin?
G: Sekali dengerin, gw yakin lagu itu akan booming. Lagu ini akan masuk chart. (Dengan pertimbangan lagu itu emang lagu yang lagi ‘jaman sekarang’ banget deh. Tapi gw ga bilang itu ke mereka. Karena gw takut mereka tersinggung)
B: Nggak, nggak, nggak, gw pengen lo jujur! Nih ya, gw kasih tahu. Pas album pertama kita keluar dan singel kita booming ada di mana-mana, itu orang nggak ada yang suka lho. Bahkan semuanya pada ngehina. Tapi karena adanya promosi, orang jadi berbalik jadi suka.
G: Karena memang sebuah lagu itu perlu didengar beberapa kali agar tercerna dan diingat di otak kita. Makanya lagu lo yang dulu itu jadi disukain orang.
B: Betul…betul… Sekarang gw pengen tau lagu ini menurut lo gimana? Kalau urusan masuk chart itu whatever-lah ya. Yang penting, lo suka ga? Enak ga?
G: Menurut gw, lagu ini easy listening dan seleranya jaman sekarang. TAPI kalau lo tanya selera gw, jujur selera gw bukan jenis musik yang seperti ini.
B: Selera musik lo seperti apa? (Kok jadi mereka yg wawancarain gw ya???) Kalau mau ngomong selera, selera kita juga jauh lho dengan apa yang kita bikin di album ini. Tapi album ini yah karena bisnis kita aja. Jadi seleranya jadi seperti ini.
G: Jadi sebenarnya selera musik kalian seperti apa?
B: Kalau mau ngomongin selera kita masing-masing personil, seleranya jauh banget dengan apa yang kita lakukan di band ini. Jauuuh banget.
G: Kalau begitu, kenapa kalian lakukan ini?
B: Karena ini bisnis kita. Kita nyari nafkah di sini. Yah kita mau nggak mau, kita lihat pasar aja. Kalau mau ngelihat selera, pasti adalah keinginan tersendiri yang lebih dari ini. Tapi kita nggak mungkin bisa ‘hidup’ dengan itu.
G: Jadi sebenarnya musik kalian itu kayak gimana?
B: Contoh nih, si -menyebut salah satu nama personil band mereka-, dia itu sungguh bertolak belakang dengan band kita yang sekarang. Dia itu alirannya death metal dan grind core, sangat jauh banget kan dengan band kita yang sekarang? Dan si grind core itu sama sekali nggak ada influence apa-apa ke band kita yang sekarang. Yah, kita lebih menahan diri lah…. Saya sendiri lebih melodic banget. Vokalis kita itu dengerinnya The Police, Sting, Phil Collins, U2, Pearl Jam. Keyboardis kita tuh hapal dengan semua musik R&B. Gitaris kita terkenal banget sebagai anak grunge di Bandung. Jadi begitu dia masuk ke band kita, banyak tuh yang kecewa. Yaah, kok si -menyebut nama gitaris- jadi begini sih??? Di komunitas masing-masing kita pun dipertanyakan.
G: Nah, menanggapi pertanyaan-pertanyaan orang seperti itu terhadap kalian gimana?
B: Yah, kita mau hidup di sini (industri musik Indonesia-red).
G: Kalau gitu gw mau nanya terang-terangan nih ya. Tapi jangan marah ya. Awas lo! Pertanyaan gw adalah, is it all about the money?
B: Yeah, of course! This is the real life. Kita jadi punya mobil. Kita bermain musik di Indonesia itu kalau mau idealis, dalam artian main musik sesuai dan menuruti kata hati, kita harus kaya dulu. Kita harus kaya, kebutuhan perut, kebutuhan kesenangan kita udah tercukupi, baru kita main musik seperti itu. Kita bakal nggak peduli ada orang yang gemar apa nggak ke kita. Tapi kalau jaman kaya gini, kita pengin hidup di musik, dan kita bener-bener nyari makan di sini, dan kita pengin bener-bener membuktikan bahwa kita bisa hidup di musik, yah inilah jalur yang kita pilih. Kalau lo denger lagu-lagu awal demo kita, musik kita tuh sangat liar sekali. Tapi begitu kita ngumpul di band ini, kita redam emosi kita masing-masing.
G: Nah, kalau sekarang kalian udah bisa beli mobil, ada nggak keinginan untuk balik ke jalur musik awal dan menuruti kata hati?
B: Belum. Belum cukup. Dari segi materi, jujur kita masih banyak yang pengen diraih. Ada keinginan seperti ini, ‘ayo kita kaya dulu’. Setelah kita kaya, kita bisa mengembalikan bermain musik menjadi hobi.
G: Jadi karena kalian sadar bahwa musik kalian sendiri sungguh berbeda dengan jenis awalnya, kalau sekarang ada yang menghina-hina pun it’s okay dong?
B: Yah, mereka nggak merasakan apa yang kita rasakan. Kita bahagia, kita senang dengan apa yang kita dapat, kalau mereka mau menghina, yah silahkan aja! Kita yang kenyang kok, kita yang senang. Ya nggak? Kadang ada tuh kritikus yang ngomong blablabla, katanya lagunya melayu banget blablabla. Kita pribadi sih pengin ngomong gini ama dia, ‘lo bisa nggak nyiptain lagu kaya kita nggak? Kalau kita pengin bikin musik idealis tuh gampang, Bikin musik yang ‘susah’ itu gampang banget! Cuma lo bisa nggak bikin lagu yang laku?’ Itu susah banget, karena itu nggak ada rumusnya.
G: Jadi menurut kalian industri musik kita ini harus kayak gimana sih?
B: Industri ini harusnya saling mendukung antara label dan artisnya. Kalau artisnya punya lagu, label tolonglah mendukung untuk mempromosikan lagu itu dan untuk mendoktrin orang-orang agar suka dengan lagu itu. Kasihlah artis-artisnya diberi kesempatan. Karena terus terang bikin lagu itu nggak gampang. Balik lagi ngomong soal selera, tadi lo belum bilang selera musik lo seperti apa?
G: Selera musik gw? Gw kasih tau aja lagu-lagu yang sekarang lagi suka banget gw dengerin ya. Saat ini gw suka banget Katy Perry, gw suka satu albumnya. Gw juga dengerin satu album Amazing In Bed.
B: Indie Jakarta ya? Kita tahunya indie Bandung. Tapi kalau gitu selera lo standar. Kirain selera musik lo beda dari yang lain. Kirain dengernya Simply Red, Counting Crows, atau jazz-jazz yang orang jarang dengerin. Kalau mau ngomong selera umum, ya lagu-lagu yang lo dengerin itu umum.
G: Iya, tapi maksud gw kan kalian ga mengangkat musik yang sama seperti mereka. Makanya gw bilang musik band lo beda sama selera gw.
B: Kalau gitu artinya gw ngikutin dong? Gw ga kreatif dong dalam bikin lagu?
G: Lho? Emang kalian ngikutin musik Amazing In Bed?
(Karena kalimat barusan gw lontarkan dnegan nada ‘mendebat’, maka salah satu personil band itu melontarkan lelucon biar suasana mencair. Kita pun ketawa-ketawa dan ga berapa lama mereka pamit pulang)
Jujur perbincangan gw dengan band tersebut berkesan banget buat gw. Selain karena mereka sedikit memancing emosi gw, perbincangan tersebut juga meninggalkan sebuah pertanyaan di otak gw. Yaitu:
Apakah benar idealisme itu hanya milik orang kaya?
Setelah dibaca lagi sekarang:
-Ini adalah salah satu blog gw yang paling banyak dikomen sama penikmat dan wartawan musik. Banyak yang bilang intinya kalau idealisme itu bukan milik orang kaya. Tapi kadang agak susah mau percaya hal itu. Karena setelah diperhatikan lagi, rata-rata band-band indie di Indonesia itu memang anak orang kaya atau nggak orang mampu. Ya nggak?
-Band yang gw wawancarain ini udah nggak kedengeran kabarnya setelah mereka meluncurkan album kedua. Padahal singel utama di album keduanya lumayan ‘menjual’, wlau nggak se-booming singel hit pas album pertamanya.