Tanggal 18 September 2023 saya berhasil melahirkan anak kedua. Kenapa saya katakan ‘berhasil’? Karena sebelumnya saya pernah mencoba dan gagal. Dua kali saya keguguran.
Kedua janin itu gugur ketika usianya masih hitungan minggu. Tapi sedihnya saya pendam berminggu-minggu. Mungkin itu juga yang menyebabkan ketika ada orang yang melihat perut buncit saya kemudian bertanya, “Ini hamil anak keberapa?”
saya selalu jawab, “Ini hamil keempat, tapi insya Allah ini jadi anak kedua.”
Biasanya setelah saya jawab kayak gitu, mereka yang bertanya jadi terdiam sesaat. Sepertinya mereka nggak tahu harus bereaksi apa. Apakah harus ikut bahagia atau malah ikut sedih. Saya sih nggak ada maksud untuk menularkan kesedihan. Tapi niatan membuat mereka mikir sih ada. Saya ingin mereka berpikir ulang sebelum menanyakan atau berbasa-basi mengenai jumlah anak yang ideal.
Kalian tentu tahu kalau di Indonesia ini ada basa-basi template ketika kita beranjak dewasa. Biasanya urutannya begini:
1. Ketika sudah lulus kuliah dan mulai bekerja, kita akan ditanya: pacarnya mana?
2. Ketika sudah bekerja di atas 3 tahun, kita akan ditanya: kapan menikah?
3. Ketika sudah menikah, kita akan ditanya: kapan punya anak?
4. Ketika sudah punya anak 1, kita akan ditanya: kapan nambah adiknya?
5. Ketika sudah punya anak 2 namun kelaminnya sama, kita akan ditanya: kapan nambah lagi yang perempuan/laki-laki biar lengkap?
Saya dulu mengalami fase nomor 1 dan 2 cukup lama, karena saya memang memilih untuk menjomblo cukup lama. Sampai salah satu om saya menyarankan saya untuk ikutan acara pencarian jodoh Take Me Out. Sepertinya beliau gerah karena saya selalu menjawab “Belum ada nih” dengan nada riang dan santai. Pas saya kasih tahu kalau acara Take Me Out itu semuanya settingan, om saya terhenyak tidak percaya. “Masa?? Nggak lah. Acara betul ituuu~ (bukan acara settingan),” ujarnya dengan logat Minang yang kental. Yah wajar dia gerah dan getol pengen saya segera menemukan jodoh waktu itu. Soalnya di adat Minang sang paman lah yang bertanggung jawab dalam mencarikan jodoh untuk ke si keponakan.
Kembali ke fase basa-basi kehidupan…
Saya dulu mengalami gempuran basa-basi nomor 1 dan 2 dengan amat santai. Tidak merasa bosan ditanyain itu terus, tidak merasa tersinggung, tidak juga jadi bikin malas datang ke acara keluarga. Santai aja lah pokoknya. Nggak masalah ditanyain kayak gitu. Tinggal jawab “Belum ada nih” udah selesai. Kalau nanti ada lanjutan nasehat tentang “Makanya jangan keasyikan kerja” atau “Makanya jangan terlalu pilih-pilih” pun saya hadapi dengan santai. Setelah saya ingat-ingat lagi, saya memang tidak pernah tersinggung sedikit pun meskipun berbagai tuduhan penyebab saya lama menjomblo itu terasa sok tahu sekali.
Lalu singkat cerita saya menikah dengan Si Punk Rock. Saya tidak sempat mengalami fase basa-basi nomor 3 tentang ‘kapan punya anak?’. Karena saya menikah Oktober, lalu akhir November saya sudah hamil. Ketahuan hamilnya pun nggak sengaja saat harus tes kesehatan untuk umroh. Lalu lahirlah Kriby pada tahun 2014. Saya dan Si Punk Rock mengurus Kriby tanpa bantuan ART, babysitter, atau keluarga dekat. Ya gimana mau punya ART atau babysitter, wong kami tinggalnya di kontrakan petakan. Mau tidur di mana si mbaknya? Mau titip keluarga, eh mereka tinggalnya jauh semua di Bekasi sedangkan kami di Pondok Labu jadi anak Jaksel.
Sadar dengan keribetan mengurus anak sendirian, maka saya mewanti-wanti Si Punk Rock kalau saya nggak mau nambah anak dulu sebelum Kriby usianya lima tahun. Selama lima tahun itu ketika saya kena basa-basi nomor 4 tentang kapan nambah adik, saya bisa menjawab dengan santai dengan “iya nih, lagi nabung”. Jawaban itu juga berhasil membuat sang penanya terdiam karena mereka sadar banget bahwa punya anak itu muahal. Popok, baju, makan-minum bergizi, peralatan makan, perlengkapan mandi, biaya sekolah, semuanya menguras kantong.
Lima tahun kemudian berlalu. Saatnya saya membuka diri untuk menambah adiknya Kriby. Saya sudah lepas IUD (KB spiral) dan berharap segera hamil. Ternyata tidak semudah itu. Saya tidak kunjung hamil. Lalu datang pandemi Covid-19. Kita semua dipaksa untuk tinggal di rumah.
Saya ingat suatu waktu saya testpack, hasilnya menunjukkan dua garis biru, namun satu garis tampak samar. Saya menghadap ke dokter kandungan di bilangan Kemang. Dia bilang ini bisa jadi hamil. Namun ini masih belum bisa ditentukan secara pasti karena masih hitungan 7 minggu yang artinya belum ada pembentukan yang berarti di rahim. Intinya saya harus menunggu beberapa minggu lagi agar semuanya terlihat semakin jelas di USG.
Saya kemudian menjalani hari-hari stay at home dengan biasa. Waktu itu saya masih bekerja di sebuah startup paling nggak jelas sedunia. Jadi saya jalani hari-hari dengan meeting online bersama rekan satu team yang sama-sama lost.
Saya menganut kepercayaan untuk tidak mengumbar kehamilan sebelum usia kandungan 3 bulan. Yang mengetahui perkara dua garis biru saya saat itu hanya Si Punk Rock. Keluarga inti kami yang lainnya pun tidak kami kabari, apalagi teman dekat ataupun rekan kantor.
Maka saya jalani saja hari-hari meeting online dari rumah itu dengan biasa-biasa aja. Tahu-tahu saya merasa ada yang mengalir dari vagina saya ser…ser…
Awalnya saya cuekin. Ah mungkin keputihan. Kaum hawa pasti tahu rasanya keputihan yang mengalir keluar. Saya lanjutkan menyimak meeting online kembali. Tapi kemudian aliran yang keluar dari vagina saya main deras SER…SER….
Saya mulai teralihkan dari meeting online. ‘Apa nih?’ batin saya kala itu. Kemudian mengalir lagi dengan sama derasnya SER…SER…SER….
Saya harus ngecek nih ke kamar mandi. Saya izin pamit dari meeting online, lalu bergegas ke kamar mandi. Pas saya lihat celana dalam saya, benar saja sudah darah semua. Darah agak kental dengan gumpalan darah di sana-sini. Seperti darah menstruasi, tapi jumlahnya lebih banyak. Perbedaan signifikannya adalah darah mentruasi itu hanya dinding rahim yang luruh karena tidak dibuahi, sedangkan yang ada di celana dalam saat itu adalah calon manusia yang seharusnya saya lahirkan.
Bagaimana perasaannya saat itu? Saat itu sih saya lebih nggak punya perasaan apa-apa. Mati rasa. Numb. Saya nggak nangis, karena emang anaknya nggak gampang nangis sih.
Banyak yang bilang kalau mungkin keguguran saya kala itu karena kecapekan atau stres banyak pikiran. Kalau bilang kecapekan sih harusnya nggak ya. Soalnya saat itu sedang masa PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar) alias stay at home. Kalau dibilang stres banyak pikiran, mungkin iya karena kantor yang nggak jelas. Tapi kayaknya nggak sampai tahap stres berat sampai bikin keguguran sih.
Hal itu dapat saya buktikan di keguguran yang kedua. Pada tahun 2021 saya berhasil hamil lagi meski testpacknya juga menunjukkan garis yang samar. Saya menghadap ke dokter kandungan yang sama, dia pun memberikan obat penguat kandungan supaya tidak keguguran lagi. Optimisme saya bangkit lagi. Karena sudah dikasih obat. Ada tindakan untuk mencegah kejadian yang sama terulang.
Obatnya saya minum secara rutin. Sama seperti sebelumnya, saya tidak memberitahu siapa-siapa mengenai kehamilan yang kali ini. Saya pulang ke Bekasi menginap di rumah Papa. Berbeda dengan di rumah kontrakan dimana saya bertindak sebagai nyonya rumah, kalau di rumah Papa saya kembali menjadi anak. Yang artinya saya lebih banyak goler-goler dan bersantai.
Waktu itu saya lagi goler-goler di kamar saya sambil main handphone. Tahu-tahu perut saya sakit. Lalu ser…ser…SERRRR….
Waduh… Jangan-jangan….
Saya segera ke kamar mandi. Benar saja celana dalam saya sudah memerah darah semua. Kali ini ada gumpalan daging yang lebih besar. Saya keguguran lagi.
Lagi-lagi saya nggak nangis. Saya sempat foto gumpalan daging itu buat saya tunjukkan ke dokter nantinya. Saya kasih tahu Si Punk Rock. Saya tidak kasih tahu Papa, entah kenapa.
Besoknya adik saya si Pigong main ke rumah Papa. Kami pergi beli makan ke luar naik mobil. Di situ saya memberitahu adik saya. Saya tetap nggak nangis. Si Pigong kaget. Tapi dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Saya bilang ke Pigong kalau saya tidak memberitahu Papa.
“Kenapa nggak dikasih tahu?” tanya Pigong.
“Nggak tahu. Harus dikasih tahu nggak sih?”
“Ya kasih tahu aja”.
“Nggak deh, jangan. Kakak takut Papa jadi sedih”.
Tibalah hari saya menghadap dokter kandungan tersebut. Saya kasih lihat foto gumpalan darah di celana dalam saya beberapa hari yang lalu. Sang dokter bilang dia mau cek pakai USG dalam. Waktu dicek, si dokter nggak banyak bicara. Lalu keluar satu kalimat
“Iya, ini udah nggak ada (janinnya)”.
Sang dokter menghentikan USGnya, mengembalikan peralatan ke tempatnya, kemudian membiarkan saya berpakaian kembali. Di situ lah saya baru nangis sesenggukan. Saya sudah tahu kalau saya keguguran lagi. Tapi kok tetap sedih ya? Mungkin di bawah alam sadar saya tidak mau memberitahu Papa karena saya takut nangis sesenggukan di hadapannya.
Setelah keguguran yang kedua itu saya seperti pasrah untuk bisa punya anak lagi. Setiap saya mendapat basa-basi nomor 4 ‘Kapan nambah adik?’ di acara keluarga, rasanya saya mau lempar piring ke muka mereka sambil teriak “BACOD!!! GUE KEGUGURAN DUA KALI TAHU GA LO???”
Tapi tentu saja itu tidak boleh dilakukan karena akan melanggar norma-norma kesopanan dalam keluarga. Kita tetap harus sopan sama keluarga ya, meskipun omongan mereka kadang bikin kita nyesel kok punya keluarga macam mereka.
Awalnya saya berusaha sopan dengan jawab “Hehehe… Iya belum nih”.
Tapi berhubung mereka suka ngelunjak dengan balas dengan kalimat semacam “Keasyikan kerja sih”—> lagi-lagi seperti menyalahkan pihak perempuan.
Akhirnya saya jawab “Oh sebenarnya aku udah keguguran dua kali pas selama pandemi”.
Baru mereka kaget dan terdiam. Dan saya sengaja nggak berusaha mencairkan suasana dengan sok-sok baik atau menunjukkan muka ramah. Biarin aja mereka ngerasa nggak enak dengan obrolan yang mereka buka sendiri. BIAR NYAHO!
Pilu karena keguguran ini juga bikin saya ngeblok seorang teman SMA. Dia juga melakukan basa-basi nomor 4 ke saya via chat. Saya balas dengan template ‘Hehehe…Iya belum dikasih nih’. Dan benar saja, dia juga membalas dengan tuduhan saya keasyikan kerja. Langsung saya balas dengan nada marah ‘LO GA TAHU KAN KLO GW UDAH KEGUGURAN DUA KALI!’
Dia sempat minta maaf. Tapi saya udah malas melanjutkan obrolan ini. Saya block nomornya sampai sekarang.
Saya sendiri juga kaget kok kemarahan saya bisa segitu besarnya ya kalau udah menyangkut topik basa-basi nomor 4? Sepertinya saya memendam kesedihan saya namun diam-diam ia meradang. Jadi kalau ada yang nyenggol kesedihan bagian itu, saya langsung murka.
Mari kita bahas kembali apa kata dokter mengenai keguguran berulang saya…
Kata dokter kandungan, yang saya alami itu namanya infertilitas sekunder. Kalau di kasus saya MUNGKIN penyebabnya adalah karena saya gemuk mendadak pada masa pandemi (saya yakin saya tidak sendiri dalam hal ini). Sehingga lemak yang mendadak muncul itu mengganggu hormon. Makanya janin yang saya kandung tidak bertahan lama.
Menurut dokter, solusinya adalah saya harus olahraga untuk menghilangkan lemak tersebut. Berbeda dengan olahraga untuk menurunkan berat badan, saya diminta untuk melakukan olahraga yang secara spesifik mengecilkan lingkar yang mendadak menggemuk. Dalam kasus saya, lemak yang paling banyak muncul itu di paha dan perut. Maka saya melakukan olahraga yang spesifik bisa mengecilkan lingkar paha dan perut.
Maka saya daftar gym dekat rumah. Saya daftar Oktober 2022. Baru beneran aktif nge-gym pada bulan November. Saya nge-gym aja dengan niatan pengen sehat dan awet muda. Anjuran dokter supaya berolahraga biar hormonnya seimbang perlahan terlupakan. Saya udah nggak berharap atau lebih tepatnya nggak berani berharap lagi untuk bisa hamil kembali.
Pada bulan Desember saya sudah mulai menyukai kegiatan nge-gym ini. Saya udah bisa merasakan seru dan enaknya berolahraga.
Bulan Januari saya terlambat mens. Perut saya terasa kemeng-kemeng mau mens, tapi mensnya tertahan nggak keluar. Saya nggak kepikiran sama sekali kalau ini pertanda hamil, malah saya mikirnya ‘Haduh…ini hormon kenapa lagi? Kok sekarang jadi terlambat mens?’
Saya ingat kalau saya punya asuransi kesehatan yang cover rawat jalan dari kantornya Si Punk Rock. Perlu diketahui Si Punk Rock itu kerjaan kantornya padat suka bikin dia sampai begadang sampai pagi. Sampai PAGI lho ya, bukan sampai tengah malam doang. Sadar kalau suami saya banting tulang dibalas dengan fasilitas asuransi, maka kita pakai saja fasilitas itu. Rugi amat nggak dipakai asuransi rawat jalannya. Ampe begadangan lho supaya punya itu.
Maka saat saya telat haid itu, saya bikin janji periksa ke dokter kandungan aja. Semata-mata biar asuransi kantor Si Punk Rock kepake. Waktu itu saya ke rumah sakit Siloam TB Simatupang yang dekat rumah (KE RUMAH SAKIT YANG MENTERENG AJA SEKALIAN. KAN PAKE ASURANSI. Jangan kek orang difficult)
Pas bikin janji sama dokter kandungan di sana, saya sempat ditanya sama petugasnya “Mau ke dokter kandungan yang mana?”
“Yang mana aja yang lagi praktek sekarang. Yang penting dokternya perempuan,” jawab saya.
Sebenarnya saya nggak ada masalah dengan dokter lelaki. Namun Si Punk Rock cemburu kalo saya disentuh dokter pria. Apalagi ini untuk periksa onderdil, bisa frustasi dia karena nahan cemburu. Walau alasan dia menyiratkan keposesifan dalam kadar rendah, namun kedepannya saya bersyukur dengan kecemburuan yang satu ini. Karena saya nggak bisa membayangkan membayangkan membahas onderdil saya dengan pria, meskipun dia dokter sekalipun. Tapi mungkin memang sayanya aja yang pemalu.
Singkat cerita, saya diarahkan untuk periksa kandungan sama Dokter Natassa Zefanya (Anya). Berbeda dengan dokter kebanyakan, dokter Anya ini pembawaannya ceria dan gampang tertawa. Sehingga pemeriksaan dengan dirinya terasa hangat dan akrab.
Setelah saya ceritakan keluhan saya terlambat mens dan riwayat keguguran saya, Dokter Anya memutuskan untuk periksa dengan cara USG dalam. Saat diperiksa, kata Dokter Anya rahim saya sudah menebal. Ini pertanda akan datang mens ATAU bisa jadi kehamilan.
Pas dibilang begitu, saya sangat optimis kalau mens saya akan segera datang. Otak dan hati saya tidak ada ruang untuk optimisme kehamilan sama sekali.
Dokter Anya bilang, “Ini bisa aja sih saya kasih obat supaya jadi mens. Tapi sebaiknya kita tunggu dua minggu lagi ya bu. Kalau ternyata hamil kan sayang”.
“Yha kalau hamil“, batin saya dengan pesimis.
Maka saya tunggu dua minggu kemudian. Saya ternyata tetap tidak mens. Saya pun kembali menghadap Dokter Anya. Kali ini saat diperiksa olehnya, sang dokter berseru dengan girang “Ini ibu hamil!”
“Hahahaha… Girang amat nih dokter. Kita lihat aja bertahan nggak tuh janinnya,” batin saya. Yah namanya udah dua kali keguguran yekan. Saya nggak berani berharap terlalu tinggi.
Sebulan kemudian saya kembali menghadap Dokter Anya lagi. Saat di USG, pertumbuhan janinnya baik. Saat itu juga saya didengarkan detuk jantung si janin. Di situlah saya baru berani senang dan berani berharap. Beneran ada nih bayi?
Alhamdulillah beneran ada. Melihat riwayat keguguran saya, Dokter Anya menyuruh saya berhenti olahraga dulu sampai melahirkan nanti. Saya juga diberi obat penguat rahim. Saya ikuti semua arahannya demi si janin terus berkembang dalam rahim.
Janin itu saya lahirkan di minggu ke-37 secara operasi sesar. Salah satu orang pertama yang melihat bayi itu lahir adalah Dokter Anya. Dia yang mendeteksi kehamilan, dia yang membesarkan hati saya saat hamil, dia pula yang menarik bayi itu keluar dari perut saya.
Saya sangat berterima kasih sama Dokter Anya. Dia bukan hanya bertindak sebagai dokter kandungan yang profesional, namun selama proses kehamilan saya dia juga sudah bertindak sebagai teman yang tulus ingin saya berhasil melahirkan anak yang sehat.
Bayi yang dilahirkan itu kami namakan Binar Bulan Baiduri. Bayi yang akhirnya berhasil saya lahirkan.









Comment