Nggak nyangka film Kemarin ini bikin nyesek.

Film dokumenter ini dibuka dengan Ifan sang vokalis band Seventeen menjelaskan kebingungannya tetap diberi hidup sementara orang-orang terdekatnya tewas di bencana tsunami 22 Desember 2018 lalu.
Setelah itu, cerita beralih ke awal terbentuknya band Seventeen di Yogyakarta. Di sini diceritakan bagaimana Seventeen membawa pengaruh ke skena musik Yogakarta dan teman-teman musisi lainnya. Kualitas musik band Seventeen tidak diragukan lagi sehingga mereka berhasil menembus industri musik Indonesia dengan menelurkan dua album yang cukup berhasil.
Namun kekompakan mereka diuji karena sang vokalis, Doni, memutuskan untuk hengkang. Seventeen pun memulai kembali dari nol, mulai mencari vokalis baru sampai mengirim kembali demo musik mereka ke para major label. Ifan sang vokalis baru berhasil membawa warna baru ke band Seventeen. Satu-persatu lagu mereka menjadi hits dan band Seventeen menjadi band yang diperhitungkan skala nasional. Kekompakan band ini pun kembali mengalami ujian. Jadwal manggung yang padat membuat mereka lelah dan hubungan satu sama lain jadi renggang. Namun di saat hubungan mereka kembali kompak dan makin erat bagai keluarga, musibah tsunami menewaskan seluruh anggota band Seventeen kecuali Ifan.
Yang saya suka dari film ini:
+ Produksi film ini bagus! Jarang-jarang ada film dokumenter Indonesia yang bagus, runut, dan produksinya niat. Terlebih ini adalah film dokumenter tentang band musik. Semua fase anak band mulai dari persahabatan, senang bisa main musik bareng, pertukaran personel, mulai mencicipi manisnya popularitas semuanya diceritakan dengan baik. Pantas aja film ini mendapat nominasi Piala Citra sebagai Film Dokumenter Terbaik.
+ Narasumber untuk film ini bagus-bagus semua. Semuanya orang yang memang jadi saksi mata perjuangan band Seventeen dan para pengamat musisi yang jagoan semua.
+ Reka ulang adegannya bagus! Terutama pas tsunami dan berenang berupaya menyelamatkan hidup. Propertinya niat.
+ Film ini ‘ngena’ banget di hati. Sedihnya kerasa banget. Kita bukan hanya akan melihat air mata para istri personel band yang kehilangan suaminya, namun juga air mata para crew band Seventeen yang tak lain adalah mas-mas maskulin. Mereka banyak terdiam nahan nangis nggak mampu nampung kesedihan kehilangan teman/sahabatnya.
Kesedihan dari mantan personel Seventeen seperti Yudi (gitar) dan Doni (vokal) juga nggak ecek-ecek. Terlepas dengan segala permasalahan mereka di masa lalu, mereka berdua juga merasakan kehilangan sahabat.
Kesedihan yang paling kerasa tentu saja dari Ifan yang terlihat seperti bingung kenapa ia dibiarkan tetap hidup dan dibebani semua kesedihan itu. Yang tabah ya Ifan….
+ Salut sama sang sutradara Upie Guava dan rumah produksi Mahakarya Pictures yang bisa mengumpulkan footage-footage yang relevan secara lengkap.
+ Film ini memotivasi saya untuk mempercepat daftar kelas renang buat Kriby. Karena Indonesia itu dikelilingi laut. Jadi kita harus bisa berenang ya gaes.
Yang saya kurang suka dari film ini:
– Meski banyak narsum yang canggih-canggih di film ini, tapi mereka hadir cuma selintas. Jadi rasanya tanpa ada mereka film ini akan tetap oke-oke aja kok.
– Untuk beberapa hal flownya kurang asik. Dari dibikin sedih-sedih, tahu-tahu pindah gitu aja ke netral lagi secara mendadak. Terus dibikin sedih lagi. Saya tidak suka hatiku diacak-acak seperti ini maz…
– Posternya kurang mengundang buat nonton. Lebih bagus poster yang buat Netflix.
Film ini saya tonton di Netflix.
Rate: 4 out 5
Ini trailernya….