Pada tanggal 17 Desember 2017 lalu saya melakukan solo trip ke Ubud, Bali. Iya, solo trip alias berpergian sendirian tanpa bawa suami dan anak. Terinspirasi dari Julia Roberts di film Eat Pray Love, maka saya ingin menghabiskan solo trip saya ini dengan keliling Ubud naik sepeda.
Semuanya berjalan dengan baik dan menyenangkan. Sampailah pada satu hari sebelum kepulangan saya ke Jakarta, yaitu tanggal 19 Desember 2017,
SAYA DIGIGIT ANJING!
Kronologisnya begini, saya lagi naik sepeda (seperti Julia Roberts) di kala hujan rintik-rintik menuju tempat beli oleh-oleh. Saya pakai stelan jas hujan untuk biar nggak masuk angin (Julia Roberts juga manusia. Manusia bisa masuk angin, oke!) Tahu-tahu di samping kanan saya ada suara menggonggong. Saya bukan orang yang takut anjing, maka saya berpikir, “Kenapa tuh anjing? Mungkinkah dia pikir saya ini Julia Roberts beneran? Oooh mungkin dia mau menyapa ramah saya aja kali, ya. Soalnya ini kan Bali, tempat di mana semuanya ramah sama turis.”
Eh tahu-tahu dia gigit betis kanan saya!
DASAR ANJING!
Kaget dengan perlakuan tidak mengindahkan tata krama menyambut turis oleh anjing tersebut, saya kemudian menggowes kencang sepeda agar bisa kabur dari anjing tersebut sambil teriak “Aaaaarrrrgh”. Persis seperti Kobo Chan lari ketakutan.
Pas saya lihat lukanya, alhamdulillah nggak berdarah. Tapi jas hujan saya robek sesuai dengan besarnya caplokan bacotnya. Dan ada bekas merah kecil kecil kayak digigit nyamuk. Saya berusaha nggak khawatir, tapi jadi was-was juga kalau anjing itu berpenyakit rabies (anjing gila). Apalagi mengingat dia mengejar dan mengigit saya tanpa sebab. Bisa jadi dia memang gila (atau tergila-gila dengan Julia Roberts).

Pas saya ceritakan kejadian yang menimpa saya pada para bli di tempat belanja oleh-oleh, mereka menyarankan saya untuk segera ke klinik untuk vaksin rabies. Mereka berucap dengan serius, tidak peduli bahwa luka saya cuma merah kecil kayak digigit nyamuk doang.
Okelah, saya pun ke klinik terdekat, yaitu Ubud Health Care. Sesampainya di sana perawat dan dokternya mengecek luka saya dengan seksama. Saya jadi memperhatikan kalau nggak ada satupun warga Bali yang menertawakan luka dan kejadian yang menimpa saya. Beda banget pas saya pulang ke Jakarta. Tiap saya bilang “Di Bali gw digigit anjing,” semuanya memandang saya agak geli bahkan ada yang ketawa terbahak.
Tindakan pertama untuk luka saya adalah dioles alkohol dulu. Rupanya si dokter melakukan ini untuk mengecek apakah ada luka terbuka di luka gigitan saya. Ternyata ada, soalnya saya merasakan rasa perih pas lukanya kena alkohol.
Tindakan kedua, luka saya dibersihkan pakai air sabun oleh si perawat. Dibersihin dan digosoknya lama juga oleh si perawat. Saya pikir ini si perawat (yang kebetulan lelaki) lagi nyuri-nyuri kesempatan megang betis Julia Roberts aja, makanya gosoknya lama. Ternyata itu adalah pertolongan pertama untuk orang yang yang kena rabies. Yaitu membersihkan luka pakai air sabun dan digosok minimal 5 menit. Kenapa air sabun? Karena menurut penelitian, alkohol / betadine nggak mempan mengusir kuman rabies. Lebih manjur air sabun. Dan digosok yang lama agar sisa-sisa liur atau kumannya keluar dari tubuh kita.
Tindakan ketiga, vaksin rabies. Nah, di sinilah dramanya dimulai. Klinik yang saya datangi nggak punya stok vaksin rabies tersebut. Dia menyarankan saya ke RSUD Sanjwani Gianyar. Menurut mereka vaksin rabies itu memang agak susah didatapkan. Tapi kalau RSUD biasanya punya.
Maka saya pun segera pulang ke penginapan saya di Wahwik’s House. Saya minta tolong ke pak Nyoman pengelola penginapan yang baik hati untuk mengantarkan saya ke RSUD Gianyar naik mobilnya. Waktu itu udah pukul 7 malam waktu Bali.
Kami harus menempuh perjalanan sekitar 30 menit untuk sampai di RSUD Gianyar. Dalam perjalanan pak Nyoman sang pengelola penginapan yang baik hati menceritakan bahwa kasus rabies karena digigit anjing di Bali itu banyak. Tetangganya ada yang sampai meninggal karena rabies. Kedua anak pak Nyoman pun sudah pernah digigit anjing. Anaknya yang pertama malah lukanya sampai berdarah dan meninggalkan bekas luka bolong.
“Vaksin rabies itu susah didapat di Bali. Katanya pemerintah sudah menyediakan. Kasus digigit anjing di Bali juga tinggi. Tapi tetap saja vaksinnya susah dicari,” cerita Pak Nyoman tentang pengalamannya sampai harus ke Denpasar untuk cari vaksin rabies untuk anak-anaknya.
Sesampainya saya di RSUD Gianyar yang parkirannya sempit dan aneh, ternyata vaksin rabiesnnya tidak tersedia. Ha?
Saya kemudian dirujuk ke sebuah klinik di dekat sana. Meluncurlah saya dan Pak Nyoman ke klinik tersebut. Pas sampe sana pun ternyata vaksinnya nggak ada! Eh slompret juga ya kamu…
Si klinik tersebut merujuk saya lagi ke klinik lain. Tapi saya nggak mau pergi sebelum mereka teleponin klinik yang mereka rujuk untuk nanyain kepastian vaksinnya beneran ada atau nggak. Pas mereka telepon, ternyata beneran nggak ada juga di klinik yang mereka rujuk. Kan!
Mereka kemudian merujuk saya ke kelinik satu lagi. Kali ini beneran ada vaksinnya. Nama kliniknya Ubud Clinic. Saya sampai sana hampir jam 9 malam. Dokternya memberitahu kalau untuk vaksin pertama harus dua kali vaksin. Harga satu vaksinnya Rp 500 ribu. Huwaw…. Saatnya menggesek kartu kredit, sodara-sodara. Padahal semua biaya liburan aja saya bayar tunai macam ijab kabul, tapi giliran perkara si anjing saya jadi harus gesek kartu kredit.
Dasar anjing!
Dokternya juga menjelaskan kalau vaksin rabies itu harus diulang sampai minimal 3 kali. Untuk kasus yang parah malah harus diulang sampai 5 kali. Jadwal vaksin ulang saya akan dilakukan minggu depan tanggal 26 Desember 2017. Okeh, saya yakin di Jakarta vaksinnya tersedia lebih banyak. Secara Jakarta geto looch! Pusatnya segala hal di Indonesia.
Ternyata saya salah, sodara-sodari…
Belajar dari pengalaman di Bali, maka saya hubungi dulu rumah sakit satu-persatu sebelum berangkat untuk vaksin. Biar hemat bensin dan waktu, yekan. Rumah sakit di sekitaran Jakarta Selatan yang sudah pernah saya kunjungi mengatakan nggak punya stok vaksin rabiesnya. Beberapa dari mereka menyarankan agar ke Rumah Sakit Infeksi Sulianto Saroso. “Di sana pusatnya vaksin. Pasti ada, mba,” ujar salah satu pegawai farmasi di rumah sakit entah mana saya lupa karena udah terlalu banyak rumah sakit yang saya telepon.
Maka saya telepon lah RS Sulianto Saroso itu.
Dan kata pegawai farmasinya stoknya nggak ada. Memang lagi kosong nasional.
Huwapah??? Julia Roberts mulai panik, tuh. Maksudnya gini, kalau di rumah sakit pusat infeksi yang-katanya-semua-stok-vaksin-tersedia-di-sana aja bilang nggak punya stok, gimana dengan rumah sakit lainnya? Kan mereka dapat stok dari rumah sakit pusat infeksinya, ya nggak sih? <——please correct me if I’m wrong, ya. But I’m not wrong. I’m Krili. What’s your name? Nice to meet you.
Saya kemudian bertanya ke si pegawai farmasi itu, “Terus apa yang akan terjadi kalau saya nggak divaksin? Kan semuanya udah nggak punya stok vaksin, nih.”
“Hmmm…. Kalau itu ibu coba tanya ke dokter aja, ya. Kami kurang mengerti. Saya sambungkan ke dokter jaga di UGD kami, ya.”
Dia panggil saya ‘ibu’???? Hello, Julia Roberts still look young, okay! Eh, tapi kan kalau ditelepon dia nggak bisa melihat keayuan parasku kan ya? Ya sudah, saya maafkan seluruh umat manusia yang memanggil saya ‘ibu’ di telepon. Karena sesungguhnya mereka tidak tahu.
Maka saya ngobrol lah dengan dokter jaga di UGD Sulianti Saroso itu. Saya bilang saya butuh vaksin rabies, tapi vaksinnya nggak ada. Jadi saya harus gimana?
Dokter yang berinisial S: Yah… Harus divaksin ya.
Saya: Tapi vaksinnya nggak ada.
Dokter S: Iya…. Tapi memang pengobatannya itu harus divaksin.
Saya mulai merasa ada yang aneh dari cara bicara dokter ini. Dia sepertinya nggak tahu harus ngapain. “Jadi saya harus gimana, dong? Kalau vaksinnya kosong terus, gimana kalau ada yang darurat digigit anjing dan harus divaksin segera, dok?” tanya saya.
Dokter: Iya… Tapi vaksinnya nggak ada. (What?)
Saya: Kalau saya nggak divaksin gimana, dok? Apa gejala rabies yang harus saya waspadai?
Dokter: Oh kalau gejala rabies itu harus dilihat dulu di Google
Sungguh keren sekali jawaban Dokter S ini. Saya jadi penasaran dia sekolah kedokteran di filial yang mana.
Setelah percakapan yang mind blowing namun unfaedah dengan dokter lulusan filial itu, saya berusaha tetap qaleum. Si Punk Rock menyarankan coba cari di rumah sakit di Bekasi aja dulu. Berhubung kami saat itu lagi menginap di tempat Papa di Bekasi.
Ya udah, saya ikutin lah sarannya Si Punk Rock. Satu persatu saya coba teleponin rumah sakit di Bekasi. Terima kasih kepada Google Map yang menyediakan nomor telepon rumah sakit dengan mudah. Akhirnya saya menemukan satu rumah sakit di bilangan Bekasi Timur yang masih punya stok vaksin rabies. Sebut saja Rumah Sakit Cantik. Begini percakapan saya via telepon dengan petugas farmasinya.
Saya: Halo, farmasi? Saya mau nanya di sana ada stok vaksin rabies nggak, ya?
Farmasi: Sebentar ya saya cek dulu. (Terdengar bunyi menaruh gagang telepon. Tak berapa lama kemudian, dia kembali). Halo, kalau boleh tahu ini buat pasien umum atau BPJS, ya?
Saya: Saya umum.
Farmasi: Oh, kalau untuk umum ada, nih. Tapi kalau untuk BPJS nggak ada. Soalnya kalau BPJS nagihnya lama.
Saya: Oh gitu… Okeh besok saya ke sana ya. Makasih.
Seusai saya tutup telepon, saya merasa lega akhirnya ketemu juga rumah sakit yang masih punya vaksin rabies. Tapi di waktu bersamaan, saya jadi kasihan sama pasien yang bergantung dengan BPJS. Gimana kalau anak mereka yang digigit anjing terus nyari vaksinnya susah, sekalinya nemu ditolak pula karena pakai BPJS. Naudzubillah mindzaliq deh…
O iya, karena satu dan lain hal, akhirnya saya malam itu juga ke Rumah Sakit cantik untuk vaksin rabies. Vaksinnya di UGD. Susternya baik-baik dan ramah semua. Susternya memastikan kalau saya pasien dengan pembayaran umum, bukan BPJS. Saya jadi mengerti sih bahwa Rumah Sakit Cantik ini bukan menolak pasien BPJS dengan tidak berperikemanusiaan. Bagaimanapun juga yang namanya rumah sakit pasti punya banyak pegawai yang harus mereka bayar gajinya. Sedangkan pencairan tagihan dari BPJS mungkin memakan waktu yang tidak sedikit. Telat satu bulan aja udah mengganggu keseimbangan finansial. Dan dari cara mereka mengeluh, sepertinya dananya cair jauh lebih lama dari satu bulan.
BPJS itu sudah terbukti banyak menolong kesehatan orang banyak. Namun memang sepertinya back end-nya kurang tertata baik sehingga menimbulkan efek yang kemudian merugikan si pasien. Yah, anggap aja ini kritik yang membangun untuk BPJS. Semoga BPJS tetap jaya! Yes! Yes! Yes!<—–ala training motivasi.
Maka hari itu saya berhasil menyelesaikan vaksin yang kedua. Eh ternyata vaksin rabies di Rumah Sakit Cantik cuma memakan waktu 300 ribuan. Alhamdulillah yes.
Lalu drama pun terulang kembali ketika sudah waktunya saya vaksin yang ketiga. Menjelang hari vaksin saya kembali berkutat dengan Google Map dan telepon. Satu persatu saya hubungi bagian farmasinya. Saya coba hubungi Rumah Sakit Cantik lagi, dan seperti yang sudah saya perkirakan kalau stok vaksin rabies mereka sudah habis. Jangan-jangan waktu itu vaksin rabies yang mereka suntikkan pada saya adalah yang terakhir. Wah, ini kah rasanya jadi orang ‘aku memang bukan yang pertama, tapi aku jadi mau jadi yang terakhir’?
Ya Tuhan, aku so sweet banget eah ❤
Oke, saya yakin Anda bingung dengan konteks saya menyebut diri saya ‘so sweet’ dalam hal ini. Tapi tolong fokus dengan tema vaksin rabies yang sedang kita bicarakan ini. Jangan mudah terdistraksi. Tolong dong, ini masalah serius tau. Apa sih salah dengan kamu orang? (Baca: What is wrong with you people?)
Berhubung waktu itu liburan di rumah Papa di Bekasi telah usai, maka saya kembali fokus mencari vaksin di rumah sakit di bilangan Jakarta. Tidak mudah mencarinya sodara-sodara… Namun saya tetap bertekad kuat untuk mencarinya sampai dapat. Saya percaya saya pasti bisa. Tekad bundar ini menggolakkan semangat saya persis kayak ibu-ibu yang maksa mau foto wefie dengan Pak Jokowi.
Ketika saya agak kelelahan menelelpon dan mendapat penolakan bertubi-tubi, saya telepon Kementrian Kesehatan. Saya lihat nomornya di laman Twitternya @KemenkesRI. Saya adukan pengalaman saya dari digigit anjing sampai kesulitan saya mencari vaksin rabies. Si bapak call centernya mendengarkan. Awalnya dia mendengarkan dengan ogah-ogahan, tapi begitu saya bercerita dengan nada penting nan darurat yang penuh semangat, akhirnya dia mendengarkan dengan seksama. Mungkin awalnya dia malas mendengarkan karena saya telepon di hari Minggu, hari di mana semua orang leha-leha bangun siang, sedangkan dia harus bekerja. Namun lama-lama dia mungkin sadar kalau yang nelepon mirip Julia Roberts.
Saya menyarankan agar vaksin rabies diperbanyak, terutama di Bali. Kasihan warga Bali yang harus terus waspada karena banyak anjing berkeliaran. Si bapak call center akhirnya menyarankan saya untuk telepon ke Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta di 021-3800154. “Teleponnya di hari Senin aja ya, bu. Pas jam kerja di jam 8 pagi sampai 4 sore. Di sana ibu bisa tanya puskesmas mana yang masih tersedia vaksin rabies” sarannya.
Okeh, pertma-tama saya maafkan bapak call center itu karena memanggil saya dengan sebutan ‘bu’. Kedua, hari Seninnya saya telepon pihak tersebut seperti yang bapak call center sarankan.
Tapi seharian ditelepon nggak diangkat!
Ya sudah, kita lupakan sajalah saran bapak call center itu. Saya kembali ke jalan penuh tekad untuk menelpon semua rumah sakit di Jakarta Raya dengan mengandalkan Google Map. Saya anggap aja teleponan sama bapak call center itu sebagai ajang ‘curhat dong, mah’ dengan orang asing. Konon curhat dengan orang yang tidak kita kenal itu kita bisa lebih jujur dan lebih plong. Makasih ya bapak call center sudah mendengarkan curhat aquh.
Akhirnya saya dapat rumah sakit yang masih menyediakan vaksin rabies (waktu itu), yaitu MRCCC Siloam Semanggi. Katanya vaksinnya masih sisa dua. Okeh, artinya aku nggak akan jadi yang terakhir untuk kamuh?
Meluncurlah saya ke sana. Sesampainya saya di sana, saya diarahkan ke klinik Poli, bukan ke UGD seperti di Rumah Sakit Cantik. Pas saya sampai di klinik Poli, dokternya belum datang (konon dokter-dokter di rumah sakit Indonesia memang suka begitu ya? Bertanya serius ini). Saya melihat ada anak lelaki pergelangan kakinya dibalut perban. Dia terlihat anteng aja sambail main game di hapenya. Pas dokternya datang, anak itu dan ibunya dipanggil masuk menghadap dokter. Setelah mereka selesai, giliran saya yang dipanggil.
Dari percakapan antara saya, dokter, dan suster di dalam klinik, saya jadi tahu kalau vaksin rabies yang mereka suntikkan ke saya adalah stok terakhir mereka juga. AKUH JADI YANG TERAKHIR LAGI UNTUK KAMUH? SO SWEET… Stok yang sebelumnya sudah dipakai untuk anak lelaki yang kakinya dibalut perban tadi.
Di situ saya lagi-lagi merasa lega karena akhirnya, saya ulangi, AKHIRNYA selesai juga perkara vaksin rabies ini. Tapi kasihan juga sama anak lelaki yang kakinya dibalut perban tadi. Gimana dia cari vaksin lanjutan lainnya. Rumah sakit pusat infeksinya nggak bisa diharapin. Rumah sakit lainnya stoknya pada kosong. Apalagi kalau dilihat kakinya sampai diperban begitu, artinya luka dia cukup dalam. Mungkin dia butuh vaksin lebih dari 3 kali.
Saya bisa aja jadi orang egois dengan bilang, “derita lo. Siapa suruh digigit anjing”. Tapi saya nggak bisa seegois itu. Satu, karena saya pun digigit anjing secara tiba-tiba tanpa tedeng aling-aling, tahu-tahu di-hap. (Please jangan bayangin Saipul Jamil saat membaca ini). Saya dan mungkin banyak korban lainnya digigit anjing tanpa memprovokasi anjingnya sedikit pun. Kami tidak ada melempari anjingnya dengan batu atau sengaja gangguin dengan nginjek buntutnya kayak yang sering dilakukan Nobita dengan ceroboh, ataupun mengejek si anjing dengan perkataan ‘anjing lu!’. Soalnya mereka memang anjing. Maka ucapan itu tiada artinya buat mereka kecuali memperlihatkan ketepatan kita mengidentifikasi sebuah makhluk hidup.
Lalu ketika Anda sudah digigit anjing dan harus divaksin rabies dengan segera, Anda harus gimana? Wong stok vaksinnya nggak ada.
Maka dari itu dengan blog ini, saya Julia Roberts menghimbau pemerintah agar memperbanyak stok vaksin rabies, terutama di Bali. Iya, memang angka rabies mungkin tidak tinggi di Indonesia. Namun tetap saja kita harus punya stok yang tersedia untuk kepentingan darurat. Rabies bisa merengut nyawa, lho. Bukan sekadar demam, batuk, pilek, atau gatal-gatal doang.
Bagi para pejuang pencari vaksin rabies di luar sana, tetap semangat, ya! Jujur saya nggak bisa bantu banyak. Namun saya harap tulisan ini bisa memberi kalian semangat dan sadar kalau kalian tidak sendirian.
Dan terakhir, untuk para anjing yang sok gigit gemes sama orang yang tidak bersalah apalagi orang dengan betis ala Julia Roberts seperti saya….
DASAR ANJING!
4 tanggapan untuk “Susahnya Cari Vaksin Rabies di Indonesia”
Ya ampun mbak Julia Robert, aku deg2an juga baca ceritamu. Btw, tdnya aku jg mau nyaranin ke RSPI Sulanto itu, aku pernah baca post siapa gitu, digigit anjing juga lalu ke situ. Eh ternyata stoknya kosong juga ya. Semoga lekas sembuh ya mbak.
Btw RS di bekasi itu apa inisialnya?
Di RS Sulianti Saroso itu kosong mbak T_T
Rumah sakit di Bekasi itu sebut saja namanya Mawar (halaah, kayak cerita esek-esek di Poskota). Inisialnya B mbak.
Makasih ya udah mampir ^_^
Mantab mba dist eh maksud ane Julia robert Hehe ..
Ane baru tau berbahanya gigitan ANJEENG rabies dari ini blog, Kamfret juga ya kalo misalkan vaskin penyakit berbahaya kaya begini susah dicari ..
Iyak! Makanya jauh-jauh deh dari anjing. Vaksin rabies susah beud nyarinya