Pada suatu hari Minggu, saya ngecek media sosial via handphone saya. Lalu ada sebuah postingan teman yang membuat saya sedikit terhenyak. Teman saya, sebut saja dia Wadiman, pergi ke rumah teman saya, sebut saja dia Karsih, tanpa mengajak saya!
“Kenapa juga harus ngajak-ngajak lo sih, Dis?” tanya para pembaca yang budiman.
Karena pada awalnya Wadiman yang menginisiasi acara tersebut dan meminta saya ikut. Tapi karena waktu itu kita masing-masing sibuk dengan berbagai tetek-bengek, maka waktu dan tanggal pasti untuk berkunjung ke rumah Karsihnya masih to be confirmed.
Ya sudah, saya leha-leha ajalah dengan segala urusan emak-emak di rumah lengkap dengan mengenakan baju daster bau bawang ini. Eeeh tahu-tahu si Wadiman udah pergi aja ke rumah Karsih tanpa ngajak-ngajak eike! Slompret! Hiyaaaaaaaaaaaarrrrgh——> ceritanya berubah jadi manusia super saiya karena marah. Atau mungkin berubah jadi manusia super saiya biar baju daster bau bawang ini hancur-lebur aja. Abis udah bosan sih pake baju daster yang itu terus.
Tidak dipungkiri saya merasakan kesedihan yang mendalam. Persis kayak kesedihannya Nasar
Melihat perubahan air muka yang tadinya memesona menjadi layu, Si Punk Rock pun bertanya, “Kamu kenapa?”
Saya ceritakanlah bahwasanya si Wadiman pergi ke rumah Karsih tanpa ngajak-ngajak saya.
“Baguslah. Biarin aja dia pergi. Nggak usah ajak-ajak istri aqoh,” ujar Si Punk Rock dengan bercanda.
Tapi karena saya lagi tidak mood bercanda, tanpa sadar saya pun membalas omongannya dengan nada ketus, “Aku tuh sejak nikah dan punya anak makin nggak punya teman!”
JLEB! Ternyata kalimat barusan menyinggung Si Punk Rock. Si Punk Rock itu yah, tampang boleh macho, rambut boleh ngepunk jigrak berdiri kayak sapu ditempelin di kepala, tapi sebenarnya perasaannya haluuus banget. Sehalus rambut cewek-cewek iklan shampo.
Sadar akan omongan saya yang menyinggung, saya pun segera minta maaf. Tapi Si Punk Rock makin ngambek. Dia senderan di tiang dengan muka manyun. Terus saya berusaha membuat dia tersenyum dengan main cilukba sambil nyanyi-nyanyi. Eh tunggu dulu………….. Bukan begitu kejadian sebenarnya. Yang saya jabarkan barusan itu adalah adegan-adegan di film India yang nempel di otak saya karena keabsurditasannya yang akut.
Yang sebenarnya terjadi adalah saya segera minta maaf, Si Punk Rock memaafkan namun masih bete. Begitu betenya mereda, kami membahas bersama-sama permasalahan tadi (berantem alama-lama ama Si Punk Rock itu nggak enak tahu. Beneran, deh!)
Menurut Si Punk Rock, dia tersinggung karena kalimat yang saya lontarkan tadi seolah-olah saya tidak mensyukuri telah menikah dan punya anak bersama dirinya. Seolah-olah saya menyalahkan dirinya karena kehilangan teman. Si Punk Rock juga mengatakan bahwa ia pun mengalami hal yang hampir sama. Namun ia sudah tahu risiko tersebut saat ia memantapkan hati untuk menikah.
Saya tidak menyalahkan pemikiran Si Punk Rock yang begitu, sih. Kalau pembaca yang budiman mendengar nada ketus saya saat itu, saya yakin Anda akan mempunyai pemikiran yang sama dengan Si Punk Rock.
Namun yang sebenarnya ada dalam pemikiran saya adalah begini, setelah menjadi istri dan ibu, tanpa sadar lingkungan pertemanan saya mengecil. Kalau jadi istri itu saya tidak boleh lagi hang out bersama teman-teman sampai malam. Karena saya harus berada di rumah sebelum suami saya sampai rumah. Mungkin Anda tidak sepaham akan hal ini, namun saya setuju dengan pemikiran tersebut.
Nah setelah menjadi ibu, lingkaran pertemanannya lagi-lagi mengerucut. Karena saya tidak bisa berpergian tanpa membawa anak saya. Saya mengurus anak saya sendiri tanpa bantuan pengasuh dan tinggal berjauhan dengan orang tua. Jadi anak saya hanya punya saya. Tidak bisa dititipkan ke orang lain. Kalaupun saya punya pengasuh atau punya orang terpercaya untuk saya titipkan, akan aneh dan buruk rasanya kalau kita terlalu sering berpergian hanya semata agar tidak ketinggalan berita dalam lingkungan pertemanan.
Itu faktor dari diri kami para ibu, belum lagi dari faktor teman-teman kami sendiri. Setelah punya anak, teman-teman saya jadi sadar sendiri untuk tidak mengajak saya berpergian terlalu sering. Mungkin mereka berpikir bahwa kasihan saya akan kelelahan menjaga anak pada saat nongkrong atau mungkin juga mereka malas melihat kerempongan saya mengejar-ngejar Kriby yang lagi senang bereksplorasi. Kalaupun Kriby bisa diam, percakapan yang terjadi antara saya dan teman-teman saya akan diselingi banyak interupsi untuk meladeni ocehan atau keinginan Kriby.
Dan saya juga akui bahwa semenjak jadi ibu, banyak ajakan pertemuan yang batal mendadak. Apalagi kalau bukan perkara anak.
Ibu bisa berencana, anak yang menentukan.
Saya pernah membatalkan ajakan nonton premier film Hollywood karena hujan melanda rumah saya dua jam sebelum acara. Hal ini masuk akal saya adalah ibu-ibu pengguna ojek online, maka menerabas hujan yang saat itu rintik-rintik namun awet adalah sama aja dengan memanggil demam untuk Kriby.
“Kenapa nggak naik taksi aja, Dis?” tanya para pembaca yang budiman lagi.
Karena Jakarta kalau hujan itu macet. Saya nggak yakin akan sampai tepat waktu kalau menggunakan taksi.
Bukan hanya saya lho yang mengalami hal serupa. Teman saya pernah membatalkan liburan keluarganya ke Bali di hari keberangkatan karena anaknya tiba-tiba demam.
Hal-hal seperti itulah yang membuat lingkaran pertemanan kami para ibu semakin hari semakin kecil. Hal ini juga mungkin dialami oleh para ayah. Namun berhubung para ayah itu tiap hari bekerja di luar rumah dan bertemu lebih banyak orang daripada para ibu yang di rumah, MUNGKIN para ayah tidak terlalu menyadari rasa sedihnya pertemanan yang terkikis.
Meskipun apa yang saya ucapkan ke Si Punk Rock itu tidak dapat dibenarkan, namun saya tidak memungkiri bahwa kehilangan teman ini membuat saya gundah. Mungkin inilah yang dikatakan cobaan artis yang tidak lagi dikenal publik. Mungkin inilah yang dirasakan Nikita Mirzani ketika tampangnya udah nggak ada lagi di TV. Makanya ia terus membuat sensasi agar TV terus menyorot dirinya. Sempat juga saya terpikir untuk membuat sensasi serupa. Tapi entah kenapa saya yakin kalau saya buat sensasi yang serupa saya malah dilaporin ke kantor polisi. Kenapa kalau Nikita Mirzani yang bikin sensasi malah dilaporin ke TV?? Aaaaah dunia hanya adil kepada perempuan yang berdada kencang dan besar!!!!
Namun telebih dari semua itu, saya kemudian menyadari bahwa mungkin inilah yang disebut ujian ikhlas. Saya harus ikhlas membesarkan dan mendahulukan anak saya. Imbalannya adalah surga lho buebu………..dan mungkin juga lipstik seharga setengah juta dari suami *uhuk uhuk* Bukan berarti bahwa selama ini saya nggak ikhlas dalam membesarkan anak saya, lho. Saya hanya merasa kaget bahwa ketika menjadi ibu itu akan begitu banyak perubahan yang terjadi bahkan di hal-hal yang kami tidak sangka-sangka. Salah satunya di dalam hal pertemanan ini.
Tapi mungkin juga ini bukan ujian ikhlas. Melainkan adalah cara Tuhan sedang menyeleksi teman-teman sejati yang benar-benar baik untuk saya. Dan saya memang sudah melihat hasil pemilahan Si Bos Besar ini oke-oke punya. Saya jadi tahu…
teman-teman yang mana yang benar-benar perhatian di saat saya susah dan senang,
teman-teman yang selalu ada dan mau mendengarkan,
teman-teman yang bisa menjaga rahasia,
teman-teman yang bisa diajak berbagi pandangan-diskusi tanpa tersinggungan,
teman-teman yang begitu membaca keanehan di postingan media sosial saya langsung japri menanyakan maksud dari postingan tersebut (karena dia tidak mau menerka-nerka sendiri dan kemudian jadi fitnah),
teman-teman yang terus mendukung dan percaya akan kemampuan saya bahkan di saat saya nggak pede,
teman-teman yang selalu berkata jujur walaupun itu menyakitkan (I still can not believe that Wentworth Miller is gay! T__T)
teman-teman yang bisa tanpa ada apa-apa nanyain kabar aja hanya karena ia merindukan saya (saya orangnya memang ngangenin sih, kayak Kangen Band—–huweek)
Saya jadi sadar bahwa dalam hal pertemanan itu, it’s not about the quantity, but it’s about the quality.
Terima kasih ya teman karena sudah menjadi teman (beneran) saya.

Saya yang itu. Yang ituuuuu. Itu tuh. Masa nggak kelihatan sih. Yeee yang itu. Itu beneran saya tahu!