
Gw tahu buku ini udah lama. Banyak orang yang membicarakan buku ini. Gw juga melihat buku ini ada di rak buku abang gw. Tapi saat itu gw belum punya ketertarikan untuk membacanya.
Sampailah pada sebuah sesi pelatihan bahasa Indonesia di kantor lama gw. Sang pemberi pelatihan, Bu Amel, bilang kalau mau tahu buku dengan kosa kata bahasa Indonesia yang kaya namun baku cobalah baca buku-buku karya Ayu Utami. Di situ timbullah ketertarikan gw.
Namun karena waktu itu gw ngekos dan jarang pulang, lalu gw asyik pacaran, tahu-tahu dilamar, kemudian ngurus nikahan, terus gw punya anak, buku ini terlupakan begitu saja di rak lemari abang gw. Sampailah pada suatu masa gw nginep lumayan lama di rumah bokap gw di Bekasi. Terus gw ingat akan buku ini. Gw pun memutuskan untuk mulai membacanya.
Buku ini diawali dengan cerita sang tokoh bernama Larung yang ingin membunuh atau meng-euthanasia neneknya. Neneknya yang konon punya ‘ilmu’ membuat sang maut agak susah menghampirinya. Larung pun melakukan perjalanan untuk mencari tahu cara mencabut nyawa neneknya.
Dari satu kisah tersebut, bergulir ke kisah selanjutnya tentang empat sekawan wanita yang mempunyai kepribadian yang sangat berbeda. Masing-masing mempunyai kisah seksual yang berbeda. Ada Cok yang sangat mengeksplor seks dengan lelaki mana pun. Sampai dia dipanggil Perek alian perempuan eksperimen. Ada Yasmin si cantik, pintar, mempunyai suami yang sempurna, namun menyimpan keinginan seksual yang tidak disangka-sangka. Lalu ada Laila si perawan. Kemudian ada Shakuntala yang biseksual. Mereka berempat melakukan perjalanan ke New York, Amerika Serikat untuk bertemu Saman. Dimana nanti Saman akan berhubungan dengan Larung untuk melakukan pergerakan politik bawah tanah demi Indonesia yang terbebas dari otoriterisme.
Setelah membaca buku ini, gw setuju dengan Bu Amel bahwa memang buku ini cukup banyak menggunakan kosa kata bahasa Indonesia baku yang gw-kita jarang dengar tapi ada di KBBI. Hal itu membuat buku ini terasa begitu ‘kaya’. Tidak dipungkiri gw agak iri dengan kepintaran Ayu Utami yang bisa menyimpan kata-kata tersebut dalam memorinya, sampai ia bisa menuangkan ke dalam bukunya.
Bahasa Indonesia itu bagus lho, sodara-sodara.
Meskipun banyak kata-kata baku, namun Ayu Utami juga pintar menggambarkan keseharian orang Indonesia yang menggunakan bahasa slang dalam percakapan sehari-hari mereka. Sampai percakapan saling ejek pun.
Dari segi ceritanya sendiri, gw setuju dengan selentingan yang selama ini sering gw dengar bahwa tokoh-tokoh dalam buku ini adalah penggambaran diri Ayu Utami itu sendiri, namun dipecah menjadi empat kepribadian perempuan yang berbeda. Dan tokoh Saman adalah penggambaran dari lelaki yangkononjadicemcemannyapenulisyangtaklainadalahpetinggimediadansudahmenikah itu. Namanya? Sebut saja dia Mawar (laaaah! Kenapa laki pakai nama perempuan?) Daripada laki tapi pakai baju perempuan, hayo!
Oke, monolog gw mulai absurd, sodara-sodara…
Kembali ke buku ini. Gw juga suka dengan cara Ayu Utami mendeskripsikan gerak-gerik dan nada percakapan yang terhalus sekali pun dengan baik dan pas. Sehingga kita-gw yang baca buku ini bisa seolah-olah ‘melihat’ kehalusan gerak dan nada dalam buku ini seperti menonton film. Karena ekspresi-ekspresi sehalus itu memang biasanya hanya dirasakan orang lain melalui visual, bukan tulisan.
Gw juga mengagumi keberanian Ayu Utami dalam mengkritisi gereja Katolik. Berhubung gw muslim dan gw nggak tahu banyak soal Katolik, maka gw manggut-manggut aja mengenai kritik-kritiknya dalam hal tersebut. Tapi gw jadi tahu bahwa kegelisahan manusia terhadap ajaran agama itu selalu ada. Tinggal gimana cara kita menyikapi dan menyalurkan ritik tersebut. Dan Ayu Utami menyalurkannya dengan baik.