365 Tulisan 2014 #111: Pudarnya Sang Peduli

Kemarin adik gw, si Agam, dan pacarnya, Hanum, main ke kontrakan gw. Sepertinya mereka kangen ama gw, maklumlah gw kan emang orangnya ngangenin.

Berhubung sejak menikah gw jadi jarang ketemu sama kedua makhluk itu, maka sekalinya ketemu perbincangan yang mengalir banyak banget. Mulai dari kerjaan masing-masing, kehamilan gw, gosipin artis yang ngehe, ngebahas PSSI yang nggak beres, sampai kejadian sehari-hari yang mereka ataupun teman mereka alami.

Dari semua keseruan obrolan kami itu, ada satu topik yang bikin gw miris. Semua berawal dari cerita Agam tentang salah satu rekan kerja perempuannya, sebut saja namanya Mawar. Alkisah Mawar baru pulang kerja mengisi voice over untuk program tivi Sport 7 yang Agam pegang. Kosan Mawar letaknya samping gedung Trans TV di Tendean. Saat itu sudah pukul 3-4 pagi. Mawar melewati gang menuju kosannya dengan santai. Selama ini gang itu selalu aman. Namun tidak untuk pagi buta itu…. Singkat cerita Mawar dirampok, namun ia melawan. Ia dibanting-banting ke tembok sambil terus berteriak minta tolong. Muka Mawar sudah berdarah-darah, namun ia tetap bertekad mempertahankan tasnya. Memang di dalam tas itu ada handphone, duit yang jumlahnya lumayan karena ia baru ambil di ATM, dan lain-lain. Namun yang paling bikin Mawar bertekad untuk tidak menyerahkan tasnya adalah adanya paspor ibunya di dalam tas tersebut. Ibunya dalam waktu dekat akan berangkat umroh, tanpa paspor itu ibunya Mawar tidak akan bisa melihat Tanah Suci.

Ketika sang rampok berusaha lari menggunakan motornya dan meninggalkan Mawar yang sudah gontai nan lebam-lebam, Mawar melakukan usaha terakhirnya dengan menghadang motor sang perampok sambil berkata, “lo boleh ambil semuanya, tapi gw cuma minta paspor nyokap gw buat berangkat umroh.”

Mungkin karena tidak tega atau sebel dengan kegigihan si Mawar, sang perampok pun membuang tas Mawar dan menghalau Mawar dari hadapannya lalu kabur naik motornya. Kasian ya Mawar… Tapi yang bikin gw miris dengan cerita ini adalah bagian akhirnya yang akan gw ceritakan sekarang.

Setelah sang perampok pergi, Mawar bertemu dengan tukang bubur ayam yang lewat di situ. Si tukang bubur ayam menanyakan apa yang terjadi pada Mawar? Ketika Mawar cerita kalau ia baru saja hampir dirampok, inilah jawaban sang tukang bubur ayam…

“Oooh, yang dari tadi teriak minta tolong itu neng ya? Saya denger sih, tapi saya kira neng lagi berantem sama pacarnya.”

Astagfirullahaladziiim…….

Kok bisa ya ada orang nggak peduli sama teriakan minta tolong orang lain? Kalau pun si Mawar berantem sama pacarnya, dia kan sampai teriak minta tolong. Artinya memang suatu kejadian parah tengah dialami dirinya dong, makanya dia sampai teriak minta tolong. Kalau itu kejadian sama anaknya tukang bubur gimana? Dia akan tetap diem aja kalau anaknya dipukulin sama pacarnya? Dan ini si Mawar dirampok gitu!

Gw sedih banget sama apa yang dilakukan si tukang bubur. Gw yakin dia bukanlah tipe tukang bubur yang akan naik haji kayak yang sering diceritakan di sinetron itu.

Hal ini membuat gw ingat sama kejadian meninggalnya seorang ibu hamil di kos-kosannya. Jadi beberapa bulan yang lalu gw nonton berita tentang seorang ibu hamil ditemukan meninggal membusuk di kos-kosannya. Sepertinya si ibu hamil yang sebatang kara itu melahirkan prematur di kos-kosannya yang akhirnya merengut nyawanya. Ketika ditemukan, sang bayi yang ia lahirkan ari-arinya masih nempel di pusarnya. Sang bayi juga ikut tewas bersama ibunya. Ibu hamil itu baru ditemukan lima hari setelah kematiannya. Itu juga setelah yang punya kosan mencium bau busuk yang datang dari kamarnya. Beritanya bisa lo pada baca di sini.

Berita itu bukan hanya gw baca di media online, tapi gw tonton juga di tivi. Gw ingat, waktu itu gw nonton di acara berita siangnya Global TV. Di situ diperlihatkanlah kondisi kos-kosan sang ibu hamil yang berada di gang sempit dan rapat. Biasanya warga yang bermukim di tempat seperti itu saling tahu (atau setidaknya saling membicarakan) satu sama lain. Sehingga tingkat keponya tinggi. Namun pertanyaan yang diajukan oleh narator acara berita itu sama dengan yang ada di benak gw, kok bisa warga situ nggak tahu ada seorang ibu hamil lagi berusaha melahirkan dan sampai meninggal di sana?

Salah satu ibu-ibu warga di situ sempat diwawancara oleh Global TV, ia ditanya apakah mereka semua beneran tidak tahu kalau selama ini perempuan tersebut hamil? Padahal warga situ tahu kalau ia tidak punya suami. Jawaban si ibu adalah mereka sebenarnya tahu, karena melihat perutnya membuncit. Tapi karena perempuan itu tidak bersuami, maka mereka enggan bertanya.

Lagi-lagi gw miris….

Ini bukan hanya karena pada saat menulis ini gw lagi dalam kondisi hamil tua, tapi gw tercengang-cengang dengan ketidakpedulian orang jaman sekarang. Sepertinya penduduk Jakarta yang metropolitan ini sudah terlalu mengamini paham ‘bukan urusan gw’. Karena memang salah satu ciri masyarakat metropolitan adalah individualistis. Jadi selama lo nggak ganggu gw, maka gw nggak akan ganggu lo. Mungkin untuk beberapa hal itu bagus untuk diterapkan, tapi kita sepertinya lupa kalau kita semua menjadi individualistis maka kita akan jadi orang yang kesepian ditengah gemerlapnya ibu kota ini. Karena nggak ada yang mau berurusan dengan masalah yang kita hadapi. Padahal di saat kita dihadang masalah yang kita butuhkan itu pertolongan, atau minimal seorang teman.

Ini artinya keramahan orang Indonesia semakin memudar di Jakarta…

Gw, sebagai orang Libra, memang jauh lebih peduli terhadap orang lain ketimbang diri gw sendiri. Nggak jarang orang mungkin diam-diam merasa perhatian yang gw kasih ke mereka dianggap lebay, ganggu, atau bahkan palsu. Si Punk Rock aja pernah mengeluhkan alias agak cemburu dengan kepedulian gw yang dia anggap terlalu terhadap teman-teman gw yang kebetulan berkelamin lelaki. Tapi lo pernah nggak merasa bahwa di saat lo putus, lo tuh pengen curhat sampe air mata dan ingus lo kering? Atau pas kerjaan lo lagi ngehe banget, lo tuh pengen dipukpuk sama orang yang peduli sama lo? Atau pas keluarga lo ketimpa musibah, lo tuh cuma pengen ada teman lo hadir di situ semata-mata biar ada teman ngobrol doang?

Gw sih pernah kayak gitu. Rasanya tuh nggak enak banget ketika menghadapinya sendiri. Makanya gw berusaha tidak membiarkan orang-orang yang gw sayangi menjalani masa nggak enak itu sendiri. Meskipun kadang orang itu nggak pengen gw terlibat, tapi seenggaknya gw udah bertanya tentang keadaannya. Biar dia tahu kalau ‘I know something wrong happened to you. Kalau mau cerita ke gw, monggo’. Yang penting mereka nggak merasa sendiri aja.

Mulai sekarang, maukah lo untuk lebih peduli?

Comment

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: