(Repost dari blog yang lama: 11 Juli 2011)
Jadi begini ceritanya….
Beberapa minggu ini saya itu mellow, galau nan gundah gulana. (Mellow kenapa, Dis?) Ada deh! Mauuu tauuu ajah. Yah, pokoknya nggak jauh-jauh dari urusan hatilah. (Lambung dong? Kan nggak jauh-jauh dari hati.) Minggat kau, monolog! Ganggu!
Di saat saya mellow itu, ada satu tema yang nggak bisa lepas dari pikiran saya, yaitu ‘betapa malangnya nasibku’. Dari situ mulailah proses mengasihani diri, merendahkan diri sendiri dan pertanyaan ‘kenapa, Tuhan? KEHNAHPAH?????’ bermunculan.
Saya pun mencoba untuk mengingat-ingat kembali duduk persoalannya. Masalah yang saya hadapi itu sebenarnya udah selesai. Sekarang tinggal rasa sedih sebagai proses penyembuhan aja. Tapi kenapa rasa sedih ini sangat bikin saya rendah diri, nggak pengin makan, nggak pengin mandi, nggak pengin ketawa, nggak pengin kerja tapi pengin terus digaji seperti ini?
Padahal saya ini dulu anak yang ceria, senang bersahabat, rajin mengerjakan PR, suka menolong ibu di dapur dan rajin menabung. Dulu hidup saya ini nikmat-nikmat aja. Kenapa sekarang seperti rendang tanpa penyedap??
Nikmat?
Saya jadi ingat sebuah ayat Al Quran yang menggunakan kata ‘nikmat’ itu. Yaitu…
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar Rahman ayat 13)
kalau versi bahasa Inggrisnya begini..
“So which of the favors of your Lord would you deny?”
Ayat yang satu ini sering banget ‘menampar’ saya. Dan kali ini ia sekali lagi berhasil membuat pipi saya menghangat karena malu.
Saya pun sadar bahwa saya sudah terlalu merendahkan diri, sehingga nggak keluar-keluar dari lingkaran kesedihan yang bikin mellow-galau-nan gundah gulana. Makanya saya mau menyombongkan diri untuk mnegingatkan kembali tentang ‘betapa beruntungnya diri saya’.
Dan boleh percaya atau tidak, metode sombong yang saya terapkan ini berhasil!
Saya berhasil menyerap kembali semua energi positif yang ada di sekeliling saya. Karena ‘kesombongan’ saya itu membuat saya membuka mata dan melihat kebaikan-kebaikan yang ada di hidup saya.
Memang tidak semua kesombongan saya tulis di Twitter (belum semua??? Itu aja udah banyak banget kalee!) Karena kesombongan yang saya tulis di Twitter itu hanya kesombongan-kesombongan yang besar. Yang tidak saya sangka adalah, hal itu juga memicu saya untuk lebih mensyukuri hal-hal yang kecil. Seperti ketika saya sedang men-tweet sambil berjalan di trotar. Saya jadi bersyukur karena saat itu cerah dan tidak hujan. Karena kalau turun hujan, pasti saya akan kesulitan untuk nge-tweet.
Saya juga jadi menysukuri karena saya harus naik bis dua kali dan menempuh perjalanan selama 1 jam-an untuk menuju kantor. Dengan begitu saya jadi punya banyak waktu untuk men-tweet.
Yah, hal-hal kecil semacam itulah. Iya sih, yang saya syukuri kebanyakan soal kemudahan saya dalam men-tweet. Tapi mengerti maksud saya, kan? Saya seperti merasakan kebahagiaan, rasa syukur dan positivisme seperti di lagu I’m Yours-Jason Mraz saat dia menyanyikan bagian ‘Look into your heart and you’ll find that the sky is yours’ ^___^
Saya juga mensyukuri respon-respon dari tweet sombong saya. Ternyata saya punya banyak teman yang perhatian dan membaca timeline saya. Padahal tweet saya tidak ada bobotnya -___-!
Tapi sepertinya berkat berbalas-balasan tweet dengan teman-teman saya, yang sepertinya banyak yang kesal karena tweet saya sombong banget, saya jadi bertemu dengan teman lama di kampus. Ia pun menawarkan saya sebuah job. Alhamdulillah! Proyek job itu belum tentu jalan sih. Tapi saya dihubungi seorang teman lama di kampus itu aja udah senang banget. Apalagi dia pakai nawarin job pula! Rasanya seperti dapat THR plus vocer spa di Bali dengan Rafel Nadal sebagai tukang pijetnya!
See! Hal-hal baik suka terjadi kalau kita mau membuka pintu untuk menuju kebaikan tersebut!
Karena metode sombong ini berhasil di saya, maka saya tidak sungkan untuk menyarankan Anda mencoba metode ini. Apalagi kalau Anda suka galau-resah-gelisah. Coba sesekali Anda menyombongkan hal-hal yang ada di diri Anda. Saya yakin sombong dengan kadar yang tepat itu bisa menjadikan diri kita lebih positif dalam menjalani hidup.
-Adisti Daramutia, Sang Penyombong-
Setelah dibaca lagi sekarang:
-Apa pulak ‘Sang Penyombong’ itu? Apakah gw ternyata memiliki sedikit jiwa Vickynisasi dalam diri gw? Oh tidaaaaaaaaaaaak!!!
-Iya, gw ingat betapa senangnya gw ketika bikin tweet #sombong ini. Seketika hari gw jadi ceria.
-Gw beberapa waktu yang lalu sempat lupa sih dengan ‘nikmat mana yang kau dustakan’ ini. Kayaknya karena waktu itu gw berada di lingkungan yang tekanan dan kompetitif tinggi. Gw sampai lupa untuk menikmati hari. Akhirnya gw memutuskan untuk keluar dari lingkungan yang nggak bikin gw bahagia itu. Dari situ gw tahu, kalau banyak banget hal yang bisa kita syukuri dan uang sama sekali nggak termasuk di dalamnya. Uang banyak bukan jaminan bakal bahagia. Sejauh ini, gw nggak menyesali keputusan gw itu. Karena gw ternyata memang nggak bahagia berada di lingkungan yang kompetitif. Kompetisi kadang hanya membuat lo lupa diri dan tujuan hidup lo.