Ketika Saya Sudah Tidak GADIS Lagi

(Repost dari blog yang lama: 9 Mei 2011)

Hari Selasa, 3 Mei lalu adalah hari terakhir saya menjadi GADIS. Heh! Jangan langsung mikir jorok lo yak! Maksud saya nggak GADIS lagi di sini adalah jadi bagian tim dan keluarga besar majalah GADIS.

“Ho…emang selama ini lu kerja di majalah GADIS ya, dis?” tanya orang fiktif yang lugu dan berlogat Bekasi

  “Lah iyak! Lu kemane aja sik? Emang selama ini lu kaga ngeliat apa muka gw rajin nangkring di halaman depan majalah GADIS?? Makanya baca GADIS dong! Gw sambit pake kerupuk juga lo!” jawab saya dengan logat Bekasi yang nggak kalah kental.

Kembali ke cerita awal…
Sebulan sebelum tanggal tersebut, saya menghadap Mba Didin sang Pemimpin Redaksi (Pemred) GADIS. Saya datangdengan membawa sebuah surat. Yup, itu adalah surat pengunduran diri.

Surat itu membuka perbincangan yang lumayan lama antar saya dan Mba Didin. Saya kemukakan segala alasan saya mengundurkan diri kepada beliau. Beliau pun mengerti. Pasti pada penasaran kan kenapa saya mengundurkan diri, hayaaaaaaw penasaran kaaaaaan??
Hmmm….kasih tahu ga ya? Kasih tahu ga yaaaaaa? Ya udah deh, nih, saya kasih tahu. Abis saya paling nggak betah kalau dipaksa begini 😛

Alasan utamanya sih, karena saya udah nggak GADIS lagi. Nah kan! Mikir jorok kan! Gw gibeng pake kabel juga lo!

Apa sih yang dimaksud dengan ‘nggak GADIS lagi’?
Mari kita flash back dulu beberapa tahun, dimana saat itu saya baru lulus kuliah dan bekerja sebagai freelance di majalah Kawanku. Waktu itu Papa saya punya teman yang berkerja di Koran Tempo. Kepadanya, Papa bercerita tentang saya, anak perempuan satu-satunya ini. Papa bilang bahwa saya sudah bekerja sebagai freelance di majalah Kawanku.
Saat itu reaksi teman Papa saya adalah, ia meramalkan bahwa saya paling lama akan bertahan di sana selama tiga tahun. “Soalnya pak, di tahun ketiga itu anak-anak wartawan udah bosan dengan pola majalah. Karena majalah itu pembacanya tetap dan spesifik. Makanya flow kerjanya jadi mudah terbaca dan bikin kami jadi bosan,” kata teman Papa i
tu.

Papa kemudian menyampaikan hal itu kepada saya. Saya kala itu tidak mengambil pusing tentang ramalan itu. Tokh, yang bilang itu bukan Mama Loren. Apalagi tidak berapa lama dari peristiwa itu, saya mendapat kabar gembira bahwa saya diterima kerja di majalah GADIS.

Majalah GADIS gitu lho! Majalah Kawanku itu oke. Tapi GADIS adalah majalah remaja yang selalu saya baca waktu SMP dulu! Dan coba tanya ke semua anak remaja perempuan di Indonesia, siapa yang nggak tahu GADIS? Siapa coba? SIAPA???
O iya, pindahnya saya dari majalah Kawanku semata-mata karena saya butuh pekerjaan yang tetap. Sedangkan kebijakan Kawanku saat itu mereka hanya menerima reporter freelance.

  Kembali ke soal diterimanya saya di GADIS….
Saat itu saya senangnya bukan kepalang. Saya jadi ingat hari-hari pertama kerja saya shock dan grogi karena di GADIS semua karyawannya berpakaian penuh gaya. Sedangkan saya selalu memakai baju pinjam dari adik saya. Satu kantor isinya perempuaaaan semua! Sedangkan saya selama di kampus dikenal sebagai perempuan yang sangat to
mboy. Bahkan sahabat saya yang bernama Umar Basalamah sampai bilang kalau sebenarnya saya ini bukan perempuan, melainkan seorang lelaki yang berdada besar.

Lambat laun, saya pun mengubah penampilan saya. Saya mengurangi peminjaman baju adik saya dan mulai membeli rok serta dres. Saya coba gali dan munculkan kembali perasaan dan pola pikir khas perempuan yang selama ini saya cuekin karena lebih terbiasa menggunakan logika.

  Teman-teman kampus saya pada mensyukuri perubahan ini. Kata mereka, akhirnya saya jadi perempuan! (Jadi selama ini??? Kalian pikir???)

Di GADIS pergaulan saya jadi jauuuuh lebih luas. Saya yang tadinya norak saat bertemu artis, jadi berteman dengan mereka. Nggak sampai berteman akrab, sih. Cuma jadi saling kenal dan tidak asing satu sama lain lagi. Bahkan kini saya malah agak mati rasa kalau ketemu kaum selebritis. Karena, pekerjaan saya di GADIS yang membuat saya bertemu dengan selebritis secara konstan ini, menjadikan saya sadar bahwa seleb itu ternyata manusia biasa juga.

  Di GADIS saya juga belajar menulis dengan berbagai angle menarik. Hal ini memperkaya wawasan saya terhadap dunia tulis-menulis. Saya juga diajak untuk terlibat dalam event. Di situ saya belajar tentang kerja sama dan komunikasi dalam tim.

Di GADIS saya juga sempat dipercaya untuk mengisi rubrik Kata Zodiak. Saya jadi sadar bahwa meramal zodiak itu tidak mudah dan beban moralnya juga berat. Tapi semua itu terbayar sudah kalau ada tanggapan senang dari para pembaca. Gara-gara rubrik itu, lagi-lagi wawasan saya jadi bertambah. Saya jadi tahu melihat sifat orang berdasarkan zodiaknya.
Tapi dari semua bintang yang ada, bintang Libra yang paling kerenlah pokoknya. Orang-orang Libra itu keren, baik, cerdas, suka menolong ibu dan rajin menabung. Yah, kayak saya inilah pokoknya. Bukannya saya mau muji diri sendiri nih, ya. Tapi kalau memang itu faktanya, masa saya harus berbohong?

  Setelah rubrik zodiak, saya kemudian dipercaya untuk memegang Twitter @GADISmagz. Berinteraksi dengan pembaca melalui situs jaring sosial yang satu ini sungguh mengasyikkan. Reaksi para pembaca yang masih ABG ini sungguh lucu-lucu. Dan mereka juga sangat berterimakasih jika kami menampilkan artikel tentang seleb yang mereka sukai. Itulah penghargaan tertinggi yang tidak dibayar dengan uang. Bisa dikatakan bahwa itu adalah hal yang selalu bikin saya betah bekerja di GADIS.

Terakhir, dengan sambil terus mengelola Twitter @GADISmagz, saya diminta untuk memegang rubrik Tophits. Yaitu rubrik tangga lagu beserta lirik lagu yang sedang hot masa kini. Saya suka sekali memegang rubrik ini! Pengetahuan musik saya jadi semakin terbuka lebar dan teraktualisasi secara kontinu karenanya.

Itu baru dari segi pekerjaan. Saya belum menceritakan soal kesenanganan saya terhadap orang-orang di GADIS kan? Akan agak susah sih kalau saya jabarkan satu-persatu tim GADIS. Yang pasti saya belajar banyak dari tiap-tiap individu yang ada di GADIS. Terutama soal kecantikan dan mode. Saya belajar banyak banget dari mereka. Makanya nggak salah sama sekali kalau orang bilang bahwa anak-anak GADIS itu cantik-cantik. Karena memang begitulah adanya! Eh, saya tidak sedang memuji diri sendiri lho ya. Tapi ya, kalau kalian menganggap saya cantik, masa saya larang. Itu kan hak asasi anda. Beda cerita kalau anda menganggap saya ini jelek. Itu baru akan saya permasalahkan. Karena hal itu bisa saya tuntut sebagai perbuatan tidak menyenangkan atau menyebarkan kabar bohong yang meresahkan masyarakat!

Sekarang sudah memasuki minggu ketiga saya di kantor baru. Saya pindah ke sebuah harian nasional yang sering sekali dikira harian lokal tingkat ibukota doang. Selain itu harian ini juga sering banget disalah kira sebagai ‘Jakarta Post’ atau ‘Jakarta Globe’. Padahal yang kami maksud adalah Koran Jakarta.

“Kenapa sik lu pake pindah segala ke koran? Emang lu kagak takut capek apa? Lagian pan udah enak di GADIS. Udah jadi karyawan tetap. Ngapain pindah sik?” tanya orang fiktif berlogat Bekasi lagi.

Walaupun dia orang Bekasi, tapi pemikirannya sangat menyuarakan rasa penasaran ya. Semua orang mempertanyakan hal yang sama kepada saya. Dan inilah jawabannya…

Yang pertama adalah teori mengenai ‘wartawan nggak akan bertahan lebih dari tiga tahun di media majalah’ yang dikemukakan oleh teman Papa saya tadi. Yup, saya sudah merasakan kebosanan yang ia maksud.

Eh tunggu, bosan sepertinya bukan kata yang tepat. Mungkin lebih baik kita menyebutnya dengan dengan ‘terlalu mengerti’. Setelah hampir empat tahun di GADIS, saya jadi begitu mengerti pola majalah remaja perempuan pertama di Indonesia itu. Saya tahu dengan pasti pembaca saya. Saya tahu apa yang mereka suka. Saya tahu cara menulis yang oke supaya mereka mau membaca. Saya bahkan sudah tahu tema apa yang akan saya tulis untuk tahun depan.

Awalnya, ke-terlalu mengerti-an itu membuat saya nyaman. Lama-lama kenyamanan itu membuat saya bosan. Saya merasa di GADIS saya sudah tidak punya tantangan lagi. Saya sering mengeluhkan hal ini kepada Papa saya. Beliau selalu bilang untuk ber-positive thinking dan mensyukuri segala nikmat yang saya dapat dari GADIS. Apalag
i ketika saya tahu bahwa keinginan ayah saya untuk tetap stay di GADIS adalah karena jaminan keamanan yang GADIS berikan kepada anak perempuan satu-satunya ini.
  Ayah saya selalu salut dengan jaminan bahwa semua tim GADIS nggak akan ada yang dibiarkan liputan sendiri tanpa diantar oleh supir kantor atau pun taksi. Awalnya terus menyukuri hal-hal tersebut berhasil membuat saya tidak bosan. Tapi itu tidak bertahan lama.

  Sepertinya GADIS melihat bagaimana saya mulai bosan dengan majalah yang tiap tahun mencetak model GADIS Sampul yang berkualitas ini. Maka saya terus diberi tantangan baru. Seperti mejadi pengelola Twitter @GADISmagz. Akun yang tadinya hanya di-follow sekitar 20 orangan, kini berhasil saya dongkrak jadi puluhan ribu. Terakhir kali saya pegang,followers @GADISmagz mencapai 59 ribu. Dan sejauh ini follower @GADISmagz adalah yang terbanyak untuk ukuran majalah remaja Indonesia. Woooohooo!

Tapi lama-lama saya dilanda rasa bosan lagi.

Sering kali saya meyakinkan diri bahwa saya ini hanya butuh cuti. Dan memang, setiap saya kembali dari cuti, otak saya kembali fresh. Tapi itu pun tidak bertahan lama. Saya kembali melongo dalam lingkaran kebosanan. Tapi saya tetap bertahan di GADIS.

Sampailah pada suatu peristiwa. Ayah saya harus pensiun. Saya pun sadar bahwa penghasilan saya yang selama ini saya cukupkan untuk kebutuhan saya pribadi harus segera dibagikan pada orang rumah. Terutama untuk Papa saya dan Agam, adik saya yang masih kuliah.

Papa saya tidak pernah meminta uang saya untuk membantu kebutuhan rumah. Tapi ya, sadar diri aja, deh. Sekarang yang bisa menghasilkan uang siapa? Terus yang akan mengurus kebutuhan ayah dan rumah saya siapa? Masa dari kecil saya dihidupi, diurus, dikasih makan, dikasih tempat tinggal oleh Papa, kini pas udah besar saya lupa begitu aja? Sejak saat itu saya dan abang saya, sama-sama membantu kebutuhan rumah.

Lalu saya mulai menderita kekurangan finansial. Memang sih gaji saya bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan saya, Papa saya dan adik saya. Tapi itu pun mepeeeeeeet banget. Dan semuanya habis tidak bersisa untuk ditabung. Jangankan buat nabung, buat keperluan darurat (kalau harus masuk rumah sakit mendadak misalnya,-na’udzubillah mindzalik) saya tidak punya pegangan sama sekali.

Hal itu pun membuat saya jadi gencar mengirim CV dan lamaran ke media-media lainnya. Awalnya saya tidak kepikiran untuk pindah ke media harian. Yang saya incar adalah media majalah lainnya. Tapi beberapa kali interview sana-sini dan mendengar pengakuan dari karyawannya, sejauh ini sih fasilitas dan manajemennya tidak ada yang sebagus Femina Group yang menaungi majalah GADIS.

Saya sempat putus asa. Saya merasa, kalau begini ceritanya, saya akan mentok di GADIS. Karena di luar sana tidak ada media grup yang bisa memberi lebih dari Femina.

Sampailah saya bertemu dengan Faya. Dia adalah teman kampus saya di IISIP Jakarta. Walaupun kami beda angkatan (Faya lebih tua! :-P), tapi kami pernah jadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di sebuah masa kepemimpinan yang sama. Kini Faya jadi reporter ekonomi di Koran Jakarta.

Faya bilang bahwa di media tempat ia bernaung sedang buka lowongan. Saat itu saya sempat merasa skeptis. Setelah hampir empat tahun saya menjadi reporter gaya hidup, sepertinya saya nggak akan kuat bila saya jadi reporter ekonomi seperti Faya. Selain saya memang mencintai dunia gaya hidup, saya juga merasa sayang kalau harus membuang semua ilmu dan koneksi di bidang yang sudah terlanjur saya terjuni ini. 

Kalau menurut teman saya Mansyur Faqih, reporter otomotif di surat kabar harian Republika, hareee geneee kita ngga
k bisa keren di segala bidang. Kita hanya bisa menjalani serta mendalami satu bidang. Dan orang-orang seperti itulah yang lebih dicari oleh perusahaan zaman sekarang. Yaitu orang-orang yang jago di satu bidang, bukan yang bisa di segala bidang namun setengah-setengah.

Faya kemudian menjelaskan bahwa medianya mencari orang untuk bagian lifestyle (gaya hidup). Karena medianya ingin memperkuat rubrik tersebut. Apakah ini jawaban dari doa saya? Kata Faya yang suka mengutip lirik Fix U dari Coldplay, “if you never try, you’ll never know.”

Singkat cerita saya pun mencoba melamar ke sana. Dipanggil. Menjalani tes. Interview. Nego gaji. Dan saya pun diterima. Sebulan kemudian, saya pun sudah menjadi karyawan harian tersebut.

Banyak teman-teman saya di GADIS dan media lain yang ternganga saat saya bilang saya akan pindah ke sebuah surat kabar harian. Bahkan pak Yudha Kartohadiprodjo yang saya temui saat satu lift bersama pun kaget begitu saya bilang “pindah ke Koran Jakarta, pak.” Beliau bilang, biasanya orang koran yang pindah ke majalah. Bukan sebaliknya. Yah…saya kan bukan orang biasa (wuih, suomboooooong!). Maksud saya, kebutuhan saya saat ini pun bukan seperti orang biasanya.

Banyak yang bilang kalau yang saya lakukan ini sebuah langkah yang hebat. Karena saya berani pindah ke harian yang deadline-nya setiap hari. Sejujurnya, saya takut, lho. Takut banget malah. Tapi syukurlah beberapa minggu sebelum saya pindah ke Koran Jakarta, saya dipertemukan dengan dua blogger handal. Yaitu Dimas Novriandi dan Leoni Julian. Saya bertemu mereka saat dalam trip jalan-jalan ke Bangkok sama tim Coca-Cola Indonesia.
Mereka cerita tentang pengalaman mereka terjun ke dunia baru tanpa bekal apa-apa selain percaya diri. Dan sejauh ini mereka berhasil-berhasil aja, tuh. Yang penting adalah adanya kemauan untuk belajar. Berkat suntikan semangat dari mereka, saya pun jadi yakin untuk mengawali karir baru ini.

 Di minggu ketiga saya di kantor baru, tentu saja ada begitu banyak adaptasi yang harus saya jalani. Yang paling berasa, sih, bagaimana kantor baru ini sangat ‘cowok’. Tentu saja ini sangat kontras dengan kebiasaan saya di GADIS yang semuanya perempuan.
GADIS berhasil banget mengeluarkan kefemininan diri yang selama ini saya kerangkeng dengan t-shirt, celana jins dan sen
dal jepit. (Iya, saya sering pakai sendal jepit pas ke kampus dulu). Begitu masuk ‘kantor cowok’ ini saya seperti lupa kalau saya dulu pernah tomboy. Saya sampai terdiam karena hawa maskulinitasnya begitu kental di kantor ini.

Pernah waktu itu saya ditugaskan untuk liputan fashion. Saya sadar sekali kalau di dunia fashion itu kita sangat anti tampil kumal. Makanya saya ke kantor dengan keadaan mengenakan dres yang lumayan rapi.
Menjelang liputan, saya sempatkan diri untuk berdandan dahulu di kantor. Niatnya sih, saya mau berdandan di kamar mandi. Tapi apa daya kamar mandinya sedang dipakai. Dan saya sudah dikejar waktu. Maka saya pun dandan di meja kantor. 

  Tahu-tahu saya mendengar shutter kamera handphone. Ternyata aksi saya berdandan di kantor jadi tontonan banyak lelaki di kantor. Dan salah satu dari mereka sepertinya ingin mengabadikan hal tersebut melalui foto! Omaygaaaaaaaaaaaaaaat! Kantor ini sungguh maskulin! Sampai-sampai mereka melihat orang dandan seolah-olah seperti atraksi orang debus. Hadeeeh….. -______-!

  Tapi tidak dipungkiri di kantor ini saya kembali mendapat banyak pengetahuan baru. Saya jadi lebih melek keadaan politik dan ekonomi bangsa ini. Karena tidak ada hal lain yang dibicarakan di rapat redaksi selain tentang isu-isu terbaru tentang itu. Saya bahkan jadi tahu bahwa sebenarnya ada konspirasi dibalik libur bersama pada saat menjelang hari raya Waisak kemarin. Ternyata oh…ternyata….

Selebihnya sih kantor baru ini oke. Walau mereka lebih cuek dan tidak pedulian sih. Hal ini membuat saya kengen dengan kehangatan orang-orang GADIS. Hal ini juga membuat AC di kantor baru ini terasa lebih dingin. Karena memang satu sama lain kurang mempuny
ai waktu untuk berbagi cerita hangat lantaran masing-masing diburu deadline.

Saya jadi kangen bangeeeeet dengan GADIS. Saya curhat ke Papa saya tentang hal ini. Kata beliau, ini adalah hal biasa yang dihadapi oleh orang yang baru pindah kerja. Papa saya bilang untuk bersabar. Nanti juga akan terbiasa. Saya harus  mempertanggungjawabkan keputusan yang saya ambil. Saya juga harus ingat dengan niat awal saya untuk pindah dulu apa.

Papa saya benar. Terlebih kalau saya mengingat tentang bagaimana rasa nyaman (comfort zone) bisa membunuh kreatifitas dan karir. Maka saat ini saya justru harus menikmati rasa tidak nyamanan sebagai anak baru tersebut. Rasa tidak nyaman atau tidak puas itu adalah pemicu yang sangat baik untuk kita agar mau terus berusaha.

Oleh karena itu, mulai sekarang panggil saya ‘Adisti – Koran Jakarta’.

Tapi ketahuilah, saya bangga sekali pernah dikenal sebagai ‘Adis-GADIS’.

Thank you and miss you very much GADIS ^____^

 

Setelah dibaca lagi sekarang:

-Gw udah resign dari Koran Jakarta. Gw pindah haluan jadi Media Relation di PR Consultant Maverick. Setahun lebih di sana, gw memutuskan untuk pindah ke Cerahati-Musikator sebagai content writer sekaligus tukang wawancara musisi (yeaaay!). Doakan sayaaaaaa!

-Faya juga udah pindah dari Koran Jakarta.

-Masing-masing dari kantor tersebut, gw belajar banyak hal. Pelajaran itu tak ternilai harganya dan gw dapetin pelajaran itu semua dari keberanian untuk keluar dari comfort zone. Alhamdulillah ^__^

-Gw sampai sekarang masih suka main ke kantor Gadis dan mereka masih menerima gw dengan baik, layaknya saudara lama yang datang berkunjung. Sisterhood never ends!

3 tanggapan untuk “Ketika Saya Sudah Tidak GADIS Lagi”

  1. Hai mba adis, perkenalkan saya shabrina,saya sudah membaca tulisan mba adis yang bercerita ttg pengalaman di majalah gadis dan koran harian, saya mahasiswa semester 3 berniat ingin mencari freelance di dunia majalah, kira2 sewaktu mba adis jd freelance ato kerja di majalah, ada mahasiswi yang kerja jd freelance juga? Terimakasih mba adis

    • Hai Shabrina!
      Dulu aku pernah magang di Warta Kota. Mereka memang selalu menerima mahasiswa magang untuk jangka waktu tiga sampai enam bulan.
      Kalau di Feminagroup (Gadis), dulu sih mereka hanya menerima magang untuk kalangan anak SMA. Ada juga untuk anak kuliah namun di non redaksional.
      Tapi itu dulu sih. Coba kamu kontak redaksi mereka via telepon atau email untuk dapat info lebih lanjut ya.

      Semoga membantu ^__^

Comment

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: