(Repost dari blog yang lama: 16 April 2011)
Minggu lalu saya terlibat percakapan dengan Mba Revi (a.k.a Pipihitam). Semua berawal dari ia menceritakan tentang seseorang perempuan yang ia kenal yang kena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Tapi ya, dia itu tetap mau stay sama suaminya. Padahal suaminya nggak banget, deh!” cerita Mba Revi dengan berapi-api. “Kok mau ya masih tinggal sama orang kayak gitu? Kasihan anak-anaknya tau.”
“Aku pernah belajar soal itu, mba. Waktu zaman kuliah dulu, aku ada mata kuliah Komunikasi Antar Pribadi. Di situ dijelaskan kalau perempuan itu cenderung akan bertahan di hubungan yang ia punya sekarang kalau ia tidak yakin bahwa di luar sana ada yang lebih baik. ‘Keadaan yang lebih baik’ itu bisa jadi tentang pasangan yang lebih baik atau hidup sendiri dengan keadaan lebih baik,” jelas gw panjang lebar dengan nada menggurui.
Karena Mba Revi nggak terima kalau gw lebih pintar dari dirinya, ia pun membantah…
“Tapi bukan itu aja, sih, Dis! Menurut gw lingkungan dan cara orang dibesarkan juga mempengaruhi cara pandang dia terhadap kehidupan. Gw tahu teman gw ini. Dia itu memang masa kecilnya kurang dapat perhatian dari orang tuanya. Terutama bagi cewek, figur bapak itu penting. Jadi gw rasa, dia mau tinggal sama suaminya yang tukang pukul itu karena dia merasa dari kecil nggak ada orang yang sayang sama dia lagi.
Gw selalu bilang ke suami gw, kalau si Ama (anak sulung Mba Revi yang berkelamin perempuan) nakal, jangan pernah pukul dia. Biar gw aja yang pukul. Soalnya nanti Ama akan berpikir perempuan itu memang boleh dipukul sama lelaki. Nanti dia berpikir, ‘Orang bokap gw aja pernah mukul gw, kok!’ Gw nggak mau Ama punya pikiran kayak gitu.”
Harus gw akui bantahan Mba Revi memang ada benarnya. Dan dia emang lebih pintar dari gw. Sial! Padahal maksud gw kan pengen menggurui. Huh!
Omongan Mba Revi bikin gw berpikir. Hmm…figur ayah, ya? Gw punya ayah yang baiiiiiik banget. Dan apa efek figur ayah gw ke gw? Setelah berpikir beberapa menit, gw agak terhenyak sih dengan jawaban yang gw dapatkan. Yaitu efek yang ayah gw berikan adalah membuat gw betah jomblo!
Mari kita membahas dan sedikit kilas balik tentang kejombloan gw.
Tahun ini memasuki tahun kejombloan gw yang ke-empat. Banyak cowok yang mencoba mendekati, tapi emang dasar belum jodoh atau mungkin juga karena mereka capek karena gw tak kunjung memberi respon, akhirnya mereka satu-persatu mental dengan sendirinya. Ada juga beberapa cowok yang berhasil menarik perhatian gw. Tapi karena gw takut maju duluan, bodoh dalam memberi sinyal dan malas berusaha lebih banyak untuk kaum adam itu, maka mereka hanya jadi pemanis singkat dalam masa jomblo gw.
Banyak yang heran kenapa gw betah jomblo. Padahal banyak lho dari mereka yang setuju kalau tampang gw ini bukanlah sebuah penghalang untuk gw mendapatkan pacar. Mereka bilang tampang gw manis, kok.
Tadinya gw sih santai-santai aja dengan kejombloan ini. Tapi sampailah salah satu sahabat gw, Alvino Adrian Tamaela a.k.a Vino RAN menanyakan hal yang sama. Dia bilang..
“Dis, lo kenapa sih nggak mau pacaran?”
Lah! Sejak kapan gw bilang gw nggak mau pacaran??? Gw mau, kok! Tapi memang belum ketemu sama yang cocok aja. Tapi kalau sahabat lo sampai menanyakan hal pribadi yang selama ini sepertinya bukan jadi masalah di mata lo, maka itu artinya hal tersebut sudah jadi masalah. Karena itulah gunanya sahabat! Mereka bertugas untuk mengingatkan dan membuat mata kita terbuka untuk hal-hal yang tidak ingin kita hadapi.
Gw sempat heran kenapa Vino menanyakan hal itu ya? Setelah gw telusuri lagi, gw langsung mendapatkan jawabannya. Sepertinya Vino menanyakan hal itu karena sebelumnya gw pernah cerita ke dia kalau gw dikatain lesbi sama salah satu teman gw. Saat itu teman gw mengatai seperti itu dalam konteks becanda, sih. Gw memahaminya dan nggak marah. (Kampret lo ngatain gw lesbi! Pulang lewat mana lo??) Tapi tentu saja hal itu tetap bikin gw terhenyak kaget. Gw nggak nyangka kalau kejombloan gw ini dipandang sebagai kelainan orientasi seksual oleh orang di luar sana. Wajar sih orang akan berpikir seperti itu ke gw. Abis, selama ini emang orang pernah melihat gw gandeng cowok?
Hal ini membuat gw bertanya-tanya secara lebih keras kenapa gw masih jomblo ya? Karena saat Vino menanyakan hal itu pun gw nggak bisa menjawab dengan tegas. Gw masih meraba-raba apa alasan sebenarnya gw betah jomblo?
Dulu gw pikir kalau gw belum move on dari mantan gw yang terakhir. Abis, emang orang itu bikin sakit hati banget, sih. Cuma, sekarang gw udah damai dan baik-baik aja ama dia. Udah temenan, saling memaafkan dan menerima bahwa semua itu bagian dari masa lalu, bukan masa depan. Jadi sepertinya bukan itu alasan gw betah jomblo.
Sepupu gw, Rilanda, pernah bilang kalau gw ini jomblo mulu karena terlalu pemilih. Jiaaaaaaaaaaaah! Masa kita nggak milih-milih sih dalam cari jodoh! Kalau emang nggak mau milih-milih, gw pacarin aja noh tukang ojek depan rumah gw. Kan dia bukan pengangguran, kerjaannya udah stabil (tidak ada kemungkinan di PHK karena wiraswasta), baik (karena selalu rela mau nganterin gw ke mana aja), punya motor lagi!
Bukannya sombong, cuma gw memang bukan tipe orang yang suka ‘jalani aja dulu’ dalam sebuah hubungan pacaran. Buat apa, coba? Lo menjalani hubungan sama orang yang nggak lo suka sepenuh hati, terus berhadapan dengan segala kompromi akan sifat dan pemikiran orang tersebut YANG BAHKAN LO NGGAK SEGITU SUKANYA SAMA DIA.
Ada yang bilang, dengan konsep ‘jalani aja dulu’ itu nantinya akan membuat benih-benih cinta itu timbul dengan sendirinya. Mungkin itu memang ada benarnya. Tapi menurut gw, itu bukan cinta. Itu hanya perasaan nyaman karena terbiasa dengan kehadiran orang tersebut. Mungkin itu rasa sayang, tapi bukan cinta.
Terlepas dari hal itu, gw tahu kapasitas diri gw. Banyak orang yang nggak tahu kalau gw punya hati yang rapuh. (Kau tak tahu betapa Rapuhnya aku… Masih luka di masa lalu…–eeeaaa jadi nyanyi!) Jadi daripada hati gw ini berulang kali hancur gara-gara cowok yang nggak penting, mendingan gw jomblo sambil menunggu Tuhan mempertemukan gw dengan cowok yang super penting, yang akan membuat gw jatuh cinta seutuhnya dan membuat hidup gw bahagia bersamanya.
Itulah alasan kenapa gw memilih jomblo dan ogah coba-coba pacaran sembarangan.
Tapi kenapa nggak semua orang punya pemikiran seperti itu ya? Dan kenapa gw menemukan banyak sekali teman-teman cewek gw yang betah bertahan di hubungan yang tidak sehat demi biar nggak dicap ‘jomblo’? Ada juga teman cewek gw yang memang nggak betah jomblo. Dia merasa dia harus berada dalam sebuah hubungan pacaran. Konon hubungan pacaran membuat ia merasa aman dan nyaman.
Jiaaaaah! Kenapa dia menaruh rasa aman itu di orang lain? Kenapa ia nggak menanamkan rasa aman itu dalam dirinya sendiri? Kenapa ia selalu harus butuh orang lain untuk membuat dirinya utuh?
Di situlah point yang Mba Revi kemukakan berbicara!
Gw bisa punya pemikiran seperti ini karena tanpa sadar lingkungan gw udah menanamkan rasa aman dan nyaman itu. Sehingga semua rasa itu bisa timbul dari diri gw sendiri. Bukan dari orang lain. Kalau mengutip omongan Oprah, dia pernah bilang begini, ‘Complete yourself, then you’ll complete the others.‘
Orang-orang yang berjasa terhadap penananaman rasa aman dan nyaman dengan diri gw sendiri ini ada tiga. Mereka antara lain….
Yang pertama, bokap gw. Emizola Maas.
Bokap gw yang berdarah asli Minang namun punya tampang kaya orang Jepang ini berkontribusi dalam hal:
-Memberikan gw ilmu garing yang diwariskan secara turun-temurun. Ilmu garing itu berhasil membuat banyak cowok tertawa karena tingkah gw. Tertawa adalah pintu perkenalan yang paling mulus dan lebar.
Dari situ, gw berkesimpulan dan tertanamlah dalam benak gw bahwa cowok yang jadi pendamping gw nanti haruslah orang yang bisa menertawakan jokes garing gw. Dan ia juga harus bisa bikin gw tertawa terbahak-bahak. Jadi ada take and give.
-Sabar dan lembut. Beliau tahu banget kalau gw ini anak yang keras kepala. Jadi cara menghadapi gw yang paling baik dan benar adalah dengan bersikap lembut dan sabar. Seumur-umur, bokap gw itu nggak pernah membentak atau mukul gw.
Dari situ, gw berkesimpulan dan membuat gw punya prinsip bahwa nggak boleh ada cowok yang mukul gw! Wong, bokap gw aja nggak pernah mukul atau kasar sama gw. Apa hak lelaki itu untuk kasar sama gw? Siapa elo? Emang elo yang ngehidupin, nyekolahin dan kasih gw makan selama ini? Cih!
-Perhatian. Ini mungkin yang bikin gw sangat betah jomblo. Abis, apa alasan gw untuk minta perhatian dari cowok lain kalau bokap gw udah bisa memberikan kasih sayangnya ke gw lebih dari cukup? Gw akan senang sih kalau gw diberi perhatian sama cowok lain. Tapi gw nggak segitu desprate-nya mengiba perhatian dari cowok itu.
Yang kedua, abang gw. Aditya Maulana Raja Badai Maas. Abang gw yang biasa gw panggil dengan sebutan ‘Mas’ ini berkontribusi dalam hal:
-Perlindungan. Sesuai dengan selera makannya yang besar, abang gw pun punya badan yang tinggi besar. Tingginya sekitar 186 cm dengan berat 90 kg-an kalau nggak salah. Fisiknya yang besar membuat ia ditakuti dan disegani. Dan tentu saja ini memberikan efek perlindungan tidak langsung ke gw sebagai adiknya. Siapa juga yang berani gangguin adik raksasa, ya nggak?
-Penghargaan. Dulu waktu kecil, tentu saja gw sering berantem dengan abang gw. Apaaaa aja bisa jadi bahan berantem. Maklumlah, namanya juga anak kecil yang nggak punya Nintendo DS. Jadi ‘mainan’ kami adalah pukul-pukulan, kejar-kejaran dan ujung-ujungnya gw nangis-nangisan. Tapi abang gw selalu kena marah sama bokap gw kalau ketahuan mukul gw. “Laki-laki nggak boleh mukul perempuan!” hardik bokap gw ke abang gw.
Seiring berjalannya waktu, gw dan abang gw mendewasa. Kami jarang berantem lagi. Sama jarangnya dengan frekuensi kami berbicara satu-sama lain.
Gw dan abang gw emang jarang ngobrol. Mungkin karena abang gw menghabiskan masa kuliah dan kerjanya di Semarang. Jadi gw jarang berkomunikasi sama dia. Karena alasan-alasan tersebut, membuat gw jarang membicarakan sosok dia dalam hidup gw. Sehingga banyak yang mengira kalau gw ini anak sulung. Padahal gw anak kedua dari tiga bersaudara.
Walaupun gw dan abang gw jarang ngobrol, tapi gw tahu kok kalau abang gw itu sayang sama gw. Dan dalam diam pun gw yakin kalau abang gw tahu kalau gw sayang sama dia.
Nah kembali ke topik. Selayaknya perempuan, gw ini doyan ngomel. Biasanya gw suka ngomel ke abang gw kalau dia udah nyebelin karena salah atau terlalu cuek. Omelan gw selalu beralasan. Sayangnya tanpa sadar omelan gw itu kata-katanya pedas banget. Tapi abang gw nggak pernah membantah.
Mungkin karena dia memang salah. Tapi gw pun tidak memberi dia kesempatan untuk menjelaskan apa yang membuat dia jadi berbuat salah.
Mungkin juga aksi diam abang gw karena dia malas ribut. Tapi gw yakin dia melakukan itu bukan karena dia takut sama gw. Melainkan karena dia menghargai gw. Dia tidak ingin ribut sama gw, mungkin karena dia tahu kalau ia tidak menahan emosinya, dia akan bisa menyakiti gw. Tapi dia nggak mau itu terjadi. Makanya dia diam aja. Karena dia menghargai gw.
Di situ gw berkesimpulan, bahwa lelaki yang akan jadi pendamping gw nanti harus bisa menghargai gw. Dia harus mendahulukan perasaan gw ketimbang egonya. Itulah bukti sayang yang memang nggak perlu diucapkan dengan kata-kata. Hal itu sudah dibuktikan oleh abang gw.
Yang ketiga, adik gw. Agam Junior Sorapaksi Maas.
Adik gw yang sangat tergila-gila dengan sepakbola dan futsal ini berkontribusi dalam hal:
-Mendengarkan. Adik gw adalah sahabat gw. Dia orang yang tahu semua rahasia gw. Gw curhat semuanya ke adik gw. Baik hal-hal yang penting, maupun yang nggak penting. Dan dia mendengarkan semuanya! Wahai rekan-rekan kaum hawa….kalian tahu banget kan bagaimana rasa menyenangkannya kalau kita didengarkan?
Di situ gw berkesimpulan, bahwa lelaki yang jadi pacar gw nanti harus rela mendengarkan segala ocehan gw. Karena bagi gw perbincangan adalah salah satu bentuk keintiman. Bagi kami para perempuan, berbicara adalah salah satu bentuk dari menumpahkan perasaan. Kenapa kami sangat suka menumpahkan perasaan? Karena beban perasaan kami sangat banyak. Jadi kami tumpahkanlah di sana-sini agar terasa lebih ringan dada ini.
-Mengingatkan. Sejauh ini adik gw adalah salah satu pengingat dan pensehat terbaik gw. Adik gw itu kalau gw curhat masalah yang nggak penting, maka dia hanya akan mendengarkan dan diam aja. Tapi kalau dia udah angkat bicara, itu artinya masalah yang gw hadapi udah lumayan berat. Dan dia merasa bertanggung jawab untuk ikutan angkat bicara.
Dia mungkin bisa aja sih tetap diam aja dan membiarkan gw mencari solusinya sendirian. Karena tokh umur gw lebih tua dari dia. Tapi dia tidak melakukan itu. Karena mendiamkan itu bukan solusinya. Dan saat adik gw memberikan sarannya, gw segera menghapus jauh-jauh pemikiran ‘tau apa sih lu, tong? Lu pan masih kecil!’ Karena gw menemukan rasa ngemong dari niat baik adik gw untuk memberi saran.
Dari situ gw berkesimpulan bahwa, lelaki yang jadi pendamping gw nanti harus bisa memberi solusi atau setidaknya mau diajak untuk mencari solusi secara bersama. Dan solusi itu sering muncul dari saling mengingatkan dan menurunkan ego yang ada.
Itulah para lelaki yang berkontribusi dalam hidup gw. Terutama kontribusi dalam memandang kaum adam. Mereka memberi gw rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri. Sehingga tertanamlah dengan sendirinya keengganan gw untuk dipermainkan atau direndahkan oleh kaum adam. Dan sejauh ini nilai-nilai tersebut berhasil menjauhkan gw dari cowok-cowok brengsek. (Eh, betulkah?) Yah, atau nggak setidaknya berhasil membuat gw cepat sadar kalau gw sedang bersama cowok yang salah.
Mungkin anda yang membaca blog ini akan bilang, ‘selamat mencari cowok sempurna itu ya! Kayaknya lo bakal jomblo seumur hidup,deh. Ha ha ha’
Kalau benar anda bilang seperti itu setelah membaca blog ini, maka saya akan menjawab begini…
“Mendingan jomblo seumur hidup atau dipukulin sama suami seumur hidup? Mendingan jomblo seumur hidup atau dikadalin sama cowok seumur hidup? Mendingan jomblo seumur hidup atau tekanan batin seumur hidup karena mengiba-iba kasih sayang? Kalau gw sih mendingan jomblo seumur hidup .”
Gw betah jomblo karena gw nggak merasa kekurangan cinta atau kasih sayang. Itu semua berkat ketiga cowok pahlawan yang sebut di atas.
Gw betah jomblo karena gw nggak melihat pacaran atau pernikahan sebagai gerbang menuju kebahagiaan. Di mata gw pacaran atau pernikahan itu adalah pembagian hidup serta pikiran dan toleransi yang tiada henti. Untuk itu gw harus nemuin orang yang tepat untuk bisa bikin gw nyaman dan gw percaya untuk bisa menjalani itu bersama dia. Dan orang itu nggak boleh sembarang orang. Siapakah orang itu? Ya, tinggal lihat aja lagi hal-hal yang berhasil ditanamkan ketiga orang cowok di keluarga gw itu.
Berkat ketiga cowok itu, kini gw sadar. Bahwasanya kejombloan gw ini bukan kutukan atau tanda nggak laku. Kejombloan ini justru bentuk dari percaya diri dan optimisme gw dalam menjalani hidup. Dan gw adalah cewek yang beruntung karena bisa mendapatkan hal itu dengan cuma-cuma. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayahanda, abangnda dan adindaku tercinta. Saya cinta kalian semua
NB: Semoga kalau Papa saya baca ini, doi tidak jadi semakin ketar-ketir ‘kapan anak perempuanku menikah?’. Papandaku tersayang, jodoh dan rezeki sudah ada yang mengatur…
Setelah dibaca lagi sekarang:
-Alhamdulillah gw udah nemuin lelaki yang punya segala kriteria itu. Namanya Wahyu Chandra Kesuma atau yang biasa gw sebut Si Punk Rock. Sama dia, jokes garing gw terdengar sangat lucu. Tampang dia agak sangar, tapi kalau sama gw dia lembut dan perhatiaaaaan banget. Rasanya pengen minta dipelukin terus. Dia pendengar yang baik, dia mengingat semua yang pernah gw ucapin dan segala hal yang pernah kita lakuin bersama. Gw nggak pernah dihargai segininya sama lelaki di luar keluarga gw. Kalau gw menghasilkan prestasi, dia tidak merasa terintimidasi. Dia malah ikutan bangga dan senang untuk gw. Dia adalah lelaki terjujur yang pernah gw temuin. Dia nggak pernah mendapati dia berbohong untuk menutupi sesuatu yang buruk atau hanya sekedar untuk menyenangkan hati gw. Ini membuat gw merasa cewek yang pintar, karena dia tidak berusaha membodohi gw dengan kebohongan. Makanya waktu kami memutuskan untuk menikah (doakan yaaa!), rasanya nggak ada yang salah dengan keputusan itu. So far, i’m with the right man ^__^