Filosofi Perubahan Dari Lampu

(Repost dari blog yang lama: 27 Januari 2011)

Beberapa hari yang lalu, lampu kamar mandi kosan saya berkedip-kedip nggak jelas. Saya kaget. Karena saya punya darah Minang, saat itu saya berkata “Takajuik den!” yang dalam bahasa Indonesianya “Terkejut saya!”.
Kalau dalam bahasa gaul Jakarta, “Kaget bangeet deh guuweeh!”.
Kalau dalam bahasa Malaysia, “Opocot!”
Kalau dalam bahasa latah, “Eh copot, eh copot, eh copot!”

Setelah saya mengekspresikan rasa keterkejutan itu dalam berbagai bahasa, saya kemudian berpikir, apa gerangan yang terjadi padamu wahai lampu? Kenapa tiba-tiba kau berkedip genit begini? Oh my God! Kalau benar ia genit, maka artinya selama ini lampu itu berjenis kelamin lelaki dong??? Dan selama ini lampu ‘lelaki’ itu menjadi saksi bisu saya mandi! Saya merasa ternoda! Sial kau lampu!

Tapi makian saya nggak menghentikan aksi genit lampu itu. Saya pun sadar kalau sebenarnya itu adalah tanda sang lampu ingin menghembuskan nafas terakhirnya. Ternyata waktumu sudah mau habis ya, lampu…

Saya pun mematikan lampu. Saya akan mengabulkan permohonan euthanasia lampu itu. Tapi sebelum saya mencabut ‘nyawanya’, saya ingin memberi ia waktu untuk menenangkan pikiran dan mendinginkan kepalanya. Sementara si lampu mengambil moment of silence-nya, saya ngejograk depan tivi dan tertawa terbahak-bahak menonton serial komedi 30 Rock.

Setelah saya rasa waktunya cukup, saya ke kamar mandi lagi. Saya cek apakah ‘kepala’nya si lampus sudah dingin. Saya sentuh si lampu. Oh, sudah dingin, kok. Maka peristiwa pencabutan nyawa lampu pun saya lakukan. Saya putar-putar badannya sampai terlepas dari nyawa listriknya. Sengaja saya tidak ucapkan ‘bismillah’, ketika hendak melakukan hal ini. Karena saya nggak mau lampu itu kemudian jadi halal untuk dimakan. Lampukan mengandung banyak kimia yang tidak baik untuk tubuh. Makanya butuh kesurupan dulu seperti kuda lumping untuk bisa dan mau makan lampu.

Setelah itu saya masukkan lampu baru dengan cara yang sama.

Saya coba hidupkan lampu yang baru itu. Ia senang diberi kepercayaan untuk menghidupi kamar mandi saya. Saking bahagianya, ia menerangi kamar mandi saya dengan sangat terang. Hal ini biasa dilakukan oleh lampu baru. Mereka terlalu bersemangat karena kepercayaan yang diberikan. Sampai-sampai memboroskan tenaga dari hari pertama bekerja.

Namun saya hargai usaha ‘cari muka’ si lampu baru ini. Maka saya lihat sekeliling ruangan kamar mandi. O-oh… si lampu baru ini menyinari begitu terang sampai-sampai saya bisa melihat betapa kotornya kamar mandi saya.

Sebenarnya kamar mandi saya nggak kotor banget, sih. Saya rajin kok membersihkannya. Cuma ketika lampu baru menyinari dengan begitu terang, saya jadi melihat beberapa bagian yang selama ini tidak tersentuh atau kurang keras saya sikat. Mungkin selama ini tidak terlihat sama saya karena si lampu lama sudah begitu renta untuk memberi saya petunjuk.

Seketika saya jadi kesal. Saya kesal ternyata kamar mandi saya tidak sebersih saya sangka. Dan sebagai manusia yang terlahir dengan jenis kelamin perempuan, kekesalan saya memang gampang terpicu dengan hal-hal kecil seperti ini.

Saya kemudian kesal sama si lampu baru. Saya kesal karena dia yang membuat ini semua jadi terlihat. Saya kesal karena dia merusak hari dan reputasi saya sebagai ‘penjaga kamar mandi bersih’. Saking kesalnya, sempat terbersit pikiran ‘kalau tahu begitu, mendingan nggak saya ganti aja sekalian lampu itu!’

Tapi sebagai orang yang sangat kalem dan suka mencari hikmah (eh, si Hikmah di mana ya?) saya langsung menenangkan diri. Saya lalu mencari hikmah dari peristiwa ini (eh, beneran deh. Si Hikmah di mana sih?). Saya mencoba fokuskan pandangan saya ke niatan baik si lampu baru ini. Dari niat baik itu saya jadi sadar kalau ia ingin membawa perubahan yang lebih baik dan positif dibandingkan lampu sebelumnya. Tapi di mana positifnya kalau ia malah membuat saya kesal?

Si lampu baru yang bersinar terang itu sepertinya tidak peduli dengan kekesalan saya. Dia tetap dengan berseri-seri menerangi kamar mandi saya. Dia pede sekali. Sampai-sampai saya merasa lampunya itu seterang dan seputih gigi Obama ketika meneriakkan kampanye ‘Change’-nya.

Perubahan. Saya rasa itulah yang ingin dibawa oleh si lampu baru ini. Dan cara dia merubah kamar mandi saya adalah dengan menerangi lebih terang agar saya bisa melihat noda yang selama ini mengendap di kamar mandi saya. Noda yang selama ini luput dari perhatian saya itu bukan nggak mungkin akan membawa keburukan di kamar mandi saya. Misalnya menjadi lumut yang membuat kamar mandi saya licin bagai Gayus, eh…belut. Atau noda yang mengundang transmigrasinya keluarga kecoa! Bayangkan kalau mereka betah di kamar mandi saya. Saya yakin mereka akan mengajak keluarganya di kampung untuk ikut mengadu nasib di kamar mandi saya. Padahal di kamar mandi saya mereka belum tentu akan dapat pekerjaan.

Seketika saya merasa bersyukur dengan tindakan si lampu baru ini. Saya kini mengerti bahwa yang namanya perubahan itu tidak bisa dielakkan dari kehidupan kita semua. Dan ketika perubahan itu terjadi pasti kita akan merasa canggung, maupun kesal dengan ketidakteraturan yang serta-merta terjadi. Tapi itulah harga dari sebuah perubahan. Yaitu ketidakteraturan dan munculnya hal-hal negatif yang selama ini tertutup.

Di situlah kita butuh adaptasi. Satu hal yang menyenangkan dari adaptasi adalah, seberapa beratnya pun kita beradaptasi, kita tidak butuh keperluan khusus untuk mendapatkan si adaptasi itu. Yang kita butuh hanyalah waktu dan pembukaan diri. Tuhan sudah membekali setiap manusia dengan kemampuan itu. Karena Tuhan tahu makhluk yang ia ciptakan ini adalah makhluk yang sangat cerewet dan suka komplain. Maka Ia menciptakan ‘perubahan’ itu untuk mengasah kemampuan adaptasi si makhluk yang konon paling mulia di permukaan bumi ini.

Saya rasa Tuhan memang sengaja membuat proses adaptasi itu berat. Karena dari ‘berat’nya itulah sang manusia akan mendapat begitu banyak pelajaran. Untuk apa pelajaran itu? Untuk siap menghadapi dunia tentunya!

Terlalu naif kalau kita memandang dunia adalah tempat melulu indah. Tapi juga terlalu sinis kalau kita memandang dunia adalah tempat yang melulu bikin kita gerah. Maka dari itu terimalah semua perubahan sebagai proses kemajuan dalam hidup. Dan seraplah serta bukalah diri untuk semua perubahan itu agar proses adaptasinya terjadi lebih cepat.

Terima kasih lampu baru untuk pelajarannya ^_^

 

Setelah dibaca lagi sekarang:

-Guila, gw di sini kok bijak banget ya?

-Gw dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami banyak perubahan. Perubahan pekerjaan, perubahan umur, sampai perubahan status (dari jomblo sampai jadi bertunangan dan sebentar lagi akan menikah dengan Si Punk Rock. Yihuuu!). Ada beberapa yang berhasil gw adaptasikan, tapi ada juga yang gw udah berusaha keras tapi tetap nggak merasa cocok di perubahan itu. Akhirnya gw memilih untuk mundur. Di situ gw belajar bahwa perubahan kadang didatangkan sebagai ujian untuk prinsip lo. Kadang perubahan yang datang bisa jadi baik, tapi lo merasa ‘hilang’ di dalamnya. Jika memang itu dirasa nggak baik untuk lo, maka mundur dan kembali ke jalan yang awal aja. Gw rasa bukan sebuah hal yang salah. Daripada lo hilang kelamaan sampai nggak tahu jalan pulang, hayo?

-Harus gw akui, perubahan itu menakutkan. Tapi begitu udah dijalani, ternyata perubahan itu simpel, antara lo menemukan sesuatu yang lebih seru ataupun sesuatu yang justru lebih buruk. Kalau dapat yang buruk, ya sudah, tinggal balik badan 😀

Comment

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: