(Repost dari blog yang lama: 27 Agustus 2010)
Pada suatu hari di saat gw lagi jalan di mall sama Nilam, gw melihat ada seorang cowok bule di mall yang ngobrol di handphone-nya dengan suara kenceeeng banget! Buset deh! Melihat itu, gw pun jadi bertanya sama Nilam….
“Nil, rasisme itu perbedaan warna kulit kan?”
“Iya.”
“Definisi perbedaan itu mencakup perbedaan warna kulit baik secara positif dan negatifkah?”
“Hmmm…..kayaknya untuk hal yang negatif doang sih.”
“Jadi kalau gw memandang martabat orang bule lebih rendah itu artinya gw rasis?”
“Iya.”
“Kalau gw memandang martabat orang bule itu lebih tinggi dari gw, apakah itu rasis?”
“Bukan.”
“Jadi itu namanya apa dong?”
“Hmmm… itu kayaknya mental terjajah aja sih, hahahaha….”
Hmmm…Mental terjajah ya?
Kenapa gw bertanya seperti itu kepada Nilam? Semua pertanyaan itu muncul gara-gara gw melihat bule tadi yang teleponan dengan suara kenceng di tengah-tengah mall. (Hai bule! Kau memberiku inspirasi!) Menurut gw, apa yang dilakukan oleh si bule itu termasuk hal yang tidak biasa, malah cenderung (maaf) kampungan. Tapi karena dia ‘orang bule’ dan berada di mall elit, maka gw dan Nilam hanya terdiam dan pura-pura tidak melihat. Padahal gw nggak munafik kalau gw ini adalah salah satu orang yang doyan mencela ketika melihat hal-hal yang tidak wajar. Salahkan undang-undang kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat!
Saat gw terdiam dan nggak jadi nyela itu bule, gw pun bertanya-tanya. Kenapa gw nggak cela itu bule? Kalau yang bertingkah kayak gitu bukan orang bule (dalam artian, orang Indonesia) mulut gw pasti udah mengeluarkan kalimat-kalimat yang terdengar nggak enak tapi cukup seru untuk ditertawakan.
Muncullah lagi pertanyaan-pertanyaan baru. Seperti, apakah ini yang disebut dengan rasis?
Tapi dari jawaban yang diberikan Nilam tadi gw jadi tahu kalau gw ini nggak rasis. Gw hanya orang yang masih bermental terjajah. Dan gilaaaaaaaaaaaaaa lo! Indonesia udah merdeka 65 tahun men! Tapi kenapa mental gw (yang tanpa gw sadari) masih mendewakan orang bule gini?
Perlu digarisbawahi (tuh, gw garis bawahin tuh) bahwa gw nggak ada masalah dengan orang bule. Dan gw nggak benci sama orang berkulit putih itu. Gw justru sebel dengan bangsa gw sendiri! Kenapa sih kita masih mendewakan kulit mereka?
Ngerasa nggak sih lo ternyata bukan gw aja yang mentalnya terjajah, tapi kita semua! Mau bukti? Nih gw kasih….
-Kalau lo liburan ke Bali, banyak tempat yang pelayannya lebih ramah sama orang bule ketimbang sama bangsanya sendiri. Ya kan?
-Beberapa mall melarang orang berpakaian buluk nan cuek untuk masuk ke mallnya. Tapi kalau bule yang datang pake sendal jepit dan bajunya buluk, pasti dibolehin aja tuh buat masuk.
-Gw pernah ke sebuah restoran. Terus gw dilihatin sama seorang cowok bule. Gw risih. Tapi gw dan teman-teman yang hadir saat itu nggak berani ngapa-ngapain. Syukurlah nggak berapa lama kemudian ‘pesanan’nya datang. Pesanan yang gw maksud di sini adalah seorang aktris wanita yang memang udah terkenal punya side job sebagai ‘pelayan’ high class. Gw kaget! Ternyata cowok bule itu ‘seorang pembeli jasa’. Tapi gw nggak munafik kalau sempat ada terbersit pikiran ‘woooow gw semenarik si aktris itu kah?’ di otak gw. Teman-teman gw juga mengatakan hal yang sama ‘ciyeeee Adis dilihatin bule. Prikitiiiiiuw!’
Nah sekarang, coba bayangkan bahwa cowok bule itu adalah cowok Indonesia. Jijik nggak lo? Gw yakin reaksi teman-teman gw bukan ‘prikitiiiuw’, melainkan ‘najis banget tuh cowok! Sok kecakepan, bla bla bla’
-Sekarang coba kaum hawa pada ngaku! Apa yang ada dipikiran lo kalau dengar kata ‘menikah dengan orang bule’? Pasti ada terbersit ‘akan jadi istri orang kaya’ di kepala lo, ya nggak? Udah deeeh ngaku aja. Ngaku ga! Ngaku!!! (Lho, kok jadi ngancem sih?). Padahal pernah nggak sih lo terpikir kalau dia memang segitu kayanya, kenapa kebanyakan dari mereka nginep di Jalan Jaksa?
Menikah dengan orang bule pun rasanya punya prestis tersendiri dibandingkan menikahi orang Indonesia yang notabene adalah anak Kyai-Yang Sebentar Lagi Akan Jadi Calon Presiden-Dan Nggak Suka Naik Mobil Ferari Karena Supirnya Lagi Cuti Buat Umroh.
-Gw pernah ditelpon oleh seorang teman yang bekerja di sebuah manajemen artis. Dia meminta gw untuk dikenalkan sama model-model baru jebolan kontes kecantikan yang diadakan oleh majalah gw. Gw kasih lah beberapa nama. Besoknya dia telpon buat protes tentang seorang model bernama Mawar (bukan nama sebenarnya).
“Mba Adis, aku kemarin telpon si Mawar. Tapi kok jawaban dia pendek-pendek dan ketus gitu ya? Bete deh.”
“Oh iya mas. Si Mawar memang orangnya begitu. Dia nggak maksud jahat, kok. Dia itu bapaknya bule. Dan sekolahnya di International School. Jadi nggak biasa basa-basi kayak kita, mas. Tapi sebenarnya anaknya baik, kok.”
“Oooooh anak bule, tokh! Pantesan! Iya iya artisku si CL juga begitu. O iya deh sip sip. Besok aku telpon untuk deketin dia lagi.”
Abis gw tutup telpon gw jadi mikir, kalau tadi gw nggak bilang si Mawar itu anak bule apakah teman gw akan memberi pemakluman segitu besar? Apakah justru akan keluar kalimat (misalnya) ‘baru tampangnya kayak begitu aja udah belagu!’ ?
– O iya, satu lagi! Masalah bahasa. Kalau ada orang Indonesia yang nggak pinter bahasa Inggris atau ngomongnya patah-patah (ngomongnya lho ya! Bukan goyangan) nggak jarang kita ketawain.
Pernah kepikiran nggak lo kalau orang Indonesia yang nggak lancar bahasa Inggris itu justru sebuah kewajaran? Karena itu memang bukan bahasanya! Kalau orang Indonesia tinggal di negara bule dan nggak bisa bahasa sana, itu boleh lo ketawain. Tapi kalau orang Indonesia, lahir dan hidup di Indonesia, terus diejek bodoh hanya gara-gara nggak pintar ngomong pakai bahasa asing, menurut lo itu adil? Bukankah seharusnya kaum pendatang yang belajar bahasa dan kebiasaan orang setempat?
Dari bukti-bukti di atas, apakah kalian merasa kalau kita telah rasis terhadap bangsa kita sendiri? Dan itu bukan ini bukan salah bulenya! Tapi salah kita yang mendewakan mereka. Gw menuliskan ini bukan untuk memprovokasi agar kita jadi membenci kaum bule ya. Gw hanya mengajak kita semua segenap bangsa Indonesia sebangsa dan setanah air untuk menaikkan martabat dan mental yang kita punya, agar kita percaya diri dengan diri kita sendiri. Terutama kemampuan yang ada di dalam diri kita, dibawah kulit yang sering terkena matahari ini (entah apa pun itu warnanya, yang penting Made In Indonesia).
Soalnya bagaimana mungkin mereka (orang bule) bisa melihat kita secara sejajar kalau kita terus-terusan menunduk di depan mereka? Bagaimana perusahaan dan hasil bumi kita nggak dikelola oleh orang bule kalau kita udah menyuguhkan semuanya ke mereka hanya gara-gara alasan ‘mereka lebih pintar dan mampu mengelolanya’?
Ayo naikkan derajatmu bung! Biarlah kita menunduk hanya kepada orang tua. Dan biarkan anak kecil saja yang memandang kita dengan mendongak.
PS: Menurut lo kalau nanti gw jadi caleg dengan membawa visi dan misi di atas, gw bakal terpilih nggak?
Setelah dibaca lagi sekarang:
-Ini adalah salah satu blog yang gw banggakan karena gw berhasil menyentil orang-orang Indonesia untuk sadar kalau kita ini nggak segitu buruknya.
-Sejak menulis blog ini, gw menolak melihat orang berdasarkan warna kulitnya. Gw mulai melihat orang melalui isi otak dan sikapnya. Nggak peduli warna kulit mereka apa. Makanya waktu kantor lama gw pernah menyediakan training bahasa Inggris dari seorang bule yang arogan dan ilmunya biasa-biasa aja, gw pun mengketuskan diri dan mengarogankan balik diri gw di hadapan tuh bule. Sampai akhirnya si bule kicep sendiri, hahahaha. Makanya jangan sok kalo ilmu pas-pasan.
-Gw juga menolak berbahasa Inggris terus-menerus di kantor kalau memang nggak perlu. Buat apa? Gw bisa bahasa Inggris. Tapi gw kan orang Indonesia. Yang gw ajak ngomong juga orang Indonesia. Jadi buat apa gw pakai bahasa Inggris? Sempat ditegur sih sama kantor lama karena bahasa Inggris gw terdengar kurang fasih di telinga mereka. Tapi buat apa gw hilangkan aksen bahasa Indonesia di bahasa Inggris gw? Bukannya aksen itu justru membuatnya terdengar lebih seksi ya? Lagi pula, apakah aksen gw membuat bahasa Inggris gw jadi kurang dimengerti? Beberapa teman bule gw belum pernah ada yang komplen, tuh.
-Cintailah bangsamu. Dari cinta akan timbul harga diri. Dari harga diri akan timbul keberanian. Dari keberanian akan timbul penghormatan.
-O iya, Nilam udah mengeluarkan buku chicklit berjudul Camar Biru.