‘Indie’

(Repost dari blog yang lama: 4 April 2010)

Waktu itu saya ngobrol dengan teman saya yang bernama Allvino A.Tamaela. Ia biasa dikenal dengan nama ‘Vino-RAN’ karena profesinya sebagai manajer band RAN. Ia bercerita bahwa belum lama ini ia diwawancarai oleh seorang reporter. Sang reporter menanyakan apa definisi indie bagi seorang manajer band seperti dia. Vino menjawab bahwa indie adalah  perjuangan. Indie adalah bagaimana seseorang atau sekelompok orang bisa mencapai sesuatu dengan caranya sendiri yang tidak mainstream atau cara yang biasa dilakukan oleh mayoritas.

Seketika saya langsung menyetujui pendapatnya. Soalnya saat ini banyak sekali orang yang menyalah-kaprahkan arti indie. Banyak sekali orang mengartikan indie (untuk musik) itu sebagai jenis aliran musik yang beda atau tidak biasa. Atau indie itu eksklusif. Indie itu tidak akan bisa diterima oleh mainstream. Indie itu bedalah pokoknya!

Hadeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh! Tidak jarang saya dibuat kesal oleh penyalahartian definisi tersebut. Walaupun harus saya akui bahwa definisi itu tidak sepenuhnya salah juga. Mungkin ada baiknya kita jabarkan satu-persatu definisi Indie yang berkembang saat ini agar jelas kronologisnya.

Indie itu musiknya beda atau melawan arus.
“Aliran musik band itu apa?”
“Hmmmm….. Kayak gimana ya? Beda deh. Yaaaah indie-indie gitu lah…”

Sebagai orang yang bekerja dekat dengan industri hiburan terutama musik, percakapan kayak di atas sering banget saya dengar. Sepertinya semua aliran musik yang berbeda sudah pasti dikategorikan indie.
Ada benar dan tidak benarnya sih. Hal ini bisa dikatakan benar karena memang pada dasarnya musik indie adalah musik yang tidak umum. Tidak umum di sini lebih diartikan kepada ‘sedang tidak/ belum ngetrend masa kini’. Atau kalimat lebih gampangnya, musiknya tidak cukup massal untuk tampil di program televisi Inbox atau Dahsyat.
Tapi apakah selalu musik indie itu berbeda? Tidak tuh. Banyak band yang bisa dijadikan contoh bahwa musik indie juga bisa sama seperti musik mainstream. Band Mary Jane asal Bandung bisa dijadikan salah satu contoh nyatanya.

Indie itu tidak akan bisa diterima oleh mainstream.
Kata siapaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa? Kalau kita merujuk lagi ke definisi yang dikemukakan oleh Vino-RAN bahwa indie itu adalah perjuangan, maka kita perlu menggali lebih dalam lagi apa tujuan perjuangan mereka. Biasanya sih tujuan utamanya adalah agar karya mereka dikenal. Nah, yang namanya dikenal itu bisa diartikan sebagai menembus mainstream. Dan telah terbukti banyak musisi indie yang berhasil dengan masuk ke mainstream. Contoh: Souljah, The Upstairs, The Brandals, Goodnight Electric, Sore, dan masih banyak lainnya. Massa mereka memang tersegmen dan tidak sebanyak band Ungu, tapi nama mereka sudah menjadi magnet massa di acara-acara musik.
Tapi memang, perjuangan band indie untuk bisa masuk ke mainstream itu tidak mudah. Bahkan Vino-RAn yang juga memegang band indie Music For Sale pun butuh waktu bertahun-tahun agar bisa meluncurkan album dan dikenal orang.

Indie itu eksklusif.
Karena musik indie itu tidak/belum massal maka secara otomatis indie menjadi minoritas. Dan sudah menjadi kodratnya kalau kaum minoritas itu lebih solid dibandingkan yang mayoritas. Dari situlah timbul ke-eksklusifitasan. Saking eksklusifnya, sampai-sampai orang butuh usaha khusus untuk bisa mendengar karya anak indie. Karena karya mereka yang tidak massal itu tidak bisa kita temui di toko-toko musik biasa. Ke-eksklusifitasan itu jugalah yang membuat kalangan indie merasa bangga dengan ruang lingkupnya.
Disadari atau tidak, dari situ timbullah pride sebagai anak indie. Saking pride-nya, mereka sampai tidak ingin keluar dari zona (nyaman) indie mereka. Bahkan ada juga yang sampai meremehkan fungsi media. Lantaran ‘zona nyaman’ itu, mereka jadi punya ketakutan dengan ekspos media akan membuat mereka jadi mainstream.
Hal ini pernah dirasakan oleh band indie asal Malaysia, yaitu Hujan. Musik dari band indie yang digerakan oleh Dimas yang berdarah Indonesia ini berhasil mencuri perhatian seantero Malaysia. Sehingga ia mendapat perhatian begitu besar dari media yang makin melambungkan namanya. Begitu ia telah dikenal seantero negeri jiran itu, kalangan indie di sana memrotes mereka. Katanya mereka telah menjadi tidak indie lagi. Padahal dalam hal musik, tidak ada yang berubah dari band itu. Sebenarnya yang protes itu hanya sekedar iri atau takut kehilangan rasa eksklusif itu? Hanya mereka sendirilah yang bisa menjawab.

Sejujurnya, saya sebagai reporter suka sebal dengan penyalahartian poin yang terakhir. Tidak jarang saya temui band-band indie yang sangat menjaga ke-eksklusifitasannya menjadi orang-orang yang sangat intimidatif ketika diwawancara. Mungkin dari sisi pride mereka mengatakan kalau mereka tidak punya waktu untuk pertanyaan-pertanyaan yang mereka anggap tidak penting. Padahal kami reporter sedang berusaha menggali sisi menarik mereka melalui pertanyaan-pertanyaan simpel yang kami ajukan.
Yang mereka tidak sadari adalah kami reporter tidak peduli kalian indie atau tidak, yang kami ingin tahu adalah seberapa bagus karya Anda. Dan ketika karya sudah diakui bagus melalui prestasi-prestasi yang mereka raih, selanjutnya yang kami ingin tahu adalah seberapa ‘manusia’nya mereka. Hal ini (terutama untuk media tempat saya bekerja, yaitu majalah remaja putri pertama di negara ini) sisi manusia itu dapat kita ketahui dari pertanyaan-pertanyaan simpel seperti ‘hobi kamu apa?’ atau ‘siapa tokoh idola kamu?’  sampai ‘kamu masih jomblo nggak?’ yang mungkin dianggap oleh mereka tidak penting.
Tidak jarang banyak rekan reporter saya yang jadi malas mewawancarai band indie semacam ini. Buat apa kami wawancara band yang belum terlalu dikenal oleh pembaca (karena karyanya tidak dikenal secara massal) dan memperlakukan kami seperti orang bodoh? Kalau Dian Sastrowardoyo yang mengintimidasi wartawan itu masih bisa dianggap suatu hal yang wajar. Karena dia sudah sampai ditahap ketenaran dimana kami para reporterlah yang membutuhkan dirinya. Nah ini, kalau band indie yang baru terkenal sejabodetabek dan tenar di kalangan orang kaya doang udah sombong na’udzubillah, menurut Anda dimana letak kewajaran untuk menulis tentang mereka? Tanpa disadari ‘kemalasan reporter’ karena alasan yang saya sebut di atas itulah yang kemudian menghalangi band indie itu dikenal secara lebih luas. Padahal apa gunanya berkarya kalau orang tidak tahu hasil karya Anda bukan?

Maka dari itu saya sangat menyukai dan menyetujui definisi indie oleh Vino-RAN. Perjuangan yang harus kalangan indie hadapi itu begitu banyak. Mulai dari mencari biaya, mempertahankan idealisme, mencari jaringan distribusi, dan yang paling penting melawan kesombongan dalam diri sendiri.
Ingat selalu bahwa bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang ramah. Kalau kaum indie tidak ramah dengan orang lain (terutama reporter), maka yuuk dadah bye bye untuk publikasi yang positif. Dan kalau kaum indie itu menjadi terkenal melalui publikasi yang negatif, lalu apa bedanya ia dengan Dewi Persik, ya nggak?

 

Setelah dibaca lagi sekarang:

-Iya nih, ini jeritan hari gw waktu masih jadi wartawan Gadis. Kalau ketemu band indie yang sok, rasanya pengen buang body. Tapi namanya kerjaan ya… 

-Semoga sudut pandang dari (dulunya) wartawan ini bisa jadi masukan untuk khalayak musik Indonesia. Maju terus musik Indonesia!—-> halah kayak acara pemerintah

Comment

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: