Chef Versus Orang Yang HANYA Bisa Masak

(Repost dari blog yang lama: 19 Juni 2009)

Belum lama ini gw menyadari kalau gw itu HANYA bisa masak, BUKAN ahli masak alias Chef.

Semua itu berawal dari hadiah udang untuk bokap gw dari temannya di Sorong sebanyak tiga kotak. Saking banyaknya tuh udang, gw dan abang gw (yang notabene adalah orang nomor dua paling jago masak setelah almarhumah nyokap gw) sampai kehabisan akal mau ngolah udang itu jadi masakan apa.

Abang gw udah menyulap udang itu menjadi udang saos tiram dan udang panggang keju. Menyadari keahlian abang gw yang ga mungkin gw tandingi itu, gw hanya mengolah udang itu menjadi udang tumis bawang putih.

Terus sisa udang ini diapain dong?

Dikebingungan gw menghadapi udang-udang itu, dunia perfutsalan kantor gw mengenalkan gw dengan Fajar dari bagian Dapur Uji alias bagian pembuat resep masakan. Gw pun memberanikan diri untuk berkenalan dengan sang Chef.

“Hai! Gw Adis. Lo Fajar dari Dapur Umum ya?” sapa gw dengan pede.
“Iya gw Fajar dari Dapur UJI,” koreksinya.
Ups!
(Kesimpulan: Seorang Chef itu punya ingatan akan pembendaharaan kata yang kuat. Bayangkan kalau dia salah menyebutkan ketumbar dengan Kelelawar. Pasti resep makanannya hancur. Sedangkan gw yang HANYA bisa masak menyebutkan Dapur Uji aja kebolak sama Dapur Umum. Emang bagian konsumsi posko bencana alam apa?)

“Fajar, nanya dong. Gw dapat kiriman udang nih dari Sorong. Ada banyak banget. Gw bingung nih mau dimasak apa. Ada ide ga?”
“Oh, lo masak ala Medan aja. Jadi udang lo ungkep pakai serai, daun salam, bumbu kunyit. Terus kasih daun pisang. Udah dimasak begitu aja..”
“Hmm…kayak dipepes gitu?”
“Nggak. Cuma disusun rapi begitu aja.”
“Pakai santan ga?”
“Mau pakai santan bisa. Kalau nggak juga papa.”

Seketika gw merasa resep masakan ini sepertinya bikin ribet.
(Kesimpulan: Seorang Chef dengan keahlian yang dia punya kecintaan yang besar terhadap memasak akan menganggap masakan apa pun gampang dan menyenangkan. Sedangkan orang yang HANYA bisa masak kayak gw hanya mempunyai kecintaan yang lebih besar terhadap makanannya itu sendiri dibandingkan proses pembuatannya. Membeli serai ke pasar aja adalah kesulitan yang lumayan tinggi. Soalnya harus ngotot-ngototan supaya dapat serai seikat dengan harga 2 ribu dapat enam batang.)

“Terus ini dimasak kuah gitu ya? Nyokap gw pernah tuh masak itu. Terus dikasih daun kari. Kita nyebutnya dimasak gulai Aceh.”
“Iya kalau mau dikasih daun kari juga bisa. Tapi bukan dimasak kuah gitu,” jelas Fajar.
“He? Jadi ditumis? Airnya dikit doang gitu?”
“Nggak juga sih. Nggak perlu tambah air juga. Nanti dari bumbu itu akan keluar airnya sendiri kok.”
“Ha? Bisa matang apa kalau nggak pakai air?”
“Bisa. Kalau masak udang kan cuma bentar doang. Yang penting asal dia udah berubah warna, itu udah matang. Kalau kelamaan, nanti gizinya hilang.”
Ha? Gizi???
(Kesimpulan: Seorang Chef nggak hanya memikirkan rasa. Tapi juga memperkirakan kandungan gizi yang terdapat di masakannya. Sedangkan org yang HANYA bisa masak kaya gw, ga pernah kepikiran akan kandungan gizi. Karena gw menganggap semua makanan yang belum basi itu bergizi.)

“Ya ampuuun! Gw baru tahu lho soal itu. Jadi kalau mau masak udang buat salad pun ternyata hanya tinggal direbus asal udah berubah warna ya?”
“Iya.”
“Eh, kalau cumi gimana? Gw jadi inget nih. Waktu itu gw makan salad cumi enaaaak banget. Kayanya sih cuminya mentah. Tapi herannya cuminya sama sekali nggak amis. Gimana sih cara bikin itu?”
“Itu caranya, lo rebus air nih sampai mendidih. Terus lo celup aja cuminya sebentar. Langsung angkat lagi.”
“Oooooooooooooh gitu tokh caranya!”
“Iya. Kalau masak cumi, entah itu digoreng atau direbus, jangan lama-lama. Soalnya cumi itu kandungannya air. Kalau kita masaknya kelamaan, airnya akan keluar dan itu bikin cuminya alot.”
Ya ampun! Itu tokh alasannya!
(Kesimpulan: Seorang Chef itu benar-benar mengenal tiap jenis makanan dan cara mengolahnya. Sedangkan orang yang HANYA bisa masak kayak gw, hanya mengenal jenis makananan dan tidak pernah mau mendalami cara pengolahannya. Makanya tiap gw masak cumi dan terasa alot, gw selalu menyalahkan para nelayan yg menangkap cumi jantan. Jantan kan identik dgn berotot dan kekar. Makanya dagingnya keras. Halah!)

Dia akhir minggu, gw pulang ke rumah dan menceritakan pengetahuan baru gw ke bokap gw.  Kita pun berdiskusi panjang lebar tentang sebaiknya kita apakan udang-udang itu. Kita pun sampai pada kesimpulan untuk memasak udang itu menjadi udang saus mentega.
Pas gw sampai dapur untuk mengeksekusi rencana tersebut, gw pun mendapati kecap inggris yang menjadi bumbu krusial untuk bikin saus mentega udah habis.

“Pah, kecap inggrisnya habis….” rengek gw ke bokap.
“Ha? Ya udah beli aja ke warung.”
“Euh…..kita masak tumis bawang putih kayak kemarin aja ya. Papa suka kan? Yang kemarin enak kan?” tanya gw dengan agak maksa.
“Hmm…..ya udah. Terserah yang masak aja.” ujar bokap gw mengalah.
(Kesimpulan: Seorang Chef pasti punya slogan “saya masak apa yang anda suka.” Sedangkan slogan org yang HANYA bisa masak kaya gw adalah, “makan apa yg ada aja deh! Udah untung gw masakin!”

 

Setelah dibaca lagi sekarang:

-Gw udah lama nih nggak masak di rumah. Soalnya tiap gw ke dapur, tempatnya berantakan mulu. Jadinya malas deh mau ngapa-ngapain. Oh dapurkuuuuu….. Aku rindu dapurku yang bersih dan rapi T__T

Comment

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: